Harapan di Pundak Angkie Yudistia: Melawan Stigma Disabilitas
Indonesia masih membutuhkan perjuangan keras untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi penyandang disabilitas.
Agnes Setyowati
UNPAK - Setiap 3 Desember dunia memperingati hari disabilitas internasional. Di Indonesia, sosok Angkie Yudistia yang ditunjuk sebagai Staf Khusus Presiden memberi harapan penghapusan stigma terhadap penyandang disabilitas.
Suara tentang penyetaraan peran penyandang disabilitas di negara ini perlu terus digaungkan. Ini seiring dengan semangat nilai-nilai Pancasila terutama kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia masih membutuhkan perjuangan keras untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi penyandang disabilitas. Masyarakat juga perlu terus diedukasi untuk peka dan peduli terhadap penyandang disabilitas.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Terpilihnya Angkie Yudistia sebagai staf khusus yang menangani penyandang disabilitas dan Juru Bicara Presiden bidang sosial membuka harapan baru bagi penyandang disabilitas di Indonesia mencapai visi Indonesia inklusi, disabilitas unggul, seperti tertuang dalam tema hari penyandang disabilitas sedunia tahun 2019.
Langkah Presiden Jokowi menunjuk Angkie sangat layak diapresiasi. Ini adalah langkah baru pemerintah dalam mencapai visi sumber daya manusia unggul dan melaksanakan amanat UU di atas.
Di antara negara-negara di Asia, Jepang adalah negara yang pantas dicontoh dalam soal perhatian pemerintahnya terhadap penyandang disabilitas.
Menurut penuturan seorang penyandang disabilitas Christie Damayanti, Jepang adalah satu-satunya negara yang 100 persen ramah difabel.
Dibanding Jepang, pekerjaan rumah Indonesia terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas masih amat banyak.
Di dalam keluarga dan masyarakat kita, penyandang disabilitas masih kerap direndahkan. Masih banyak keluarga dan masyarakat yang menganggap disabilitas sebagai aib, kutukan, dan memalukan.
Tak sedikit keluarga yang memilih tidak terbuka mengenai anggota keluarganya yang memiliki disabilitas.
Ada juga kelompok masyarakat yang masih menganggap penyandang disabilitas sama dengan orang sakit yang tidak berdaya sehingga tidak perlu diberi pendidikan dan pekerjaan.
Menghilangkan stigma
Menghilangkan stigma terhadap penyandang disabilitas merupakan hal pertama yang harus dilakukan untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif.
Pemerintah diharapkan menyediakan infrastruktur yang memungkinkan penyandang disabilitas bisa berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
Sebagai persoalan multisektor, pemerintah diharapkan melibatkan berbagai aspek dalam penanganannya baik aspek ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, trasnportasi, komunikasi, politik dan budaya.
Dalam UU Penyandang Disabilitas, pemerintah mengakui hak penyandang disabilitas dan mewajibkan pemerintah untuk memberikan mereka perlakuan yang setara dengan non-disabilitas.
Banyak organisasi yang bergerak di isu disabilitas di Indonesia memuji peraturan baru tersebut karena telah memperkenalkan pendekatan yang lebih adil terhadap penyandang disabilitas.
Perhatian terhadap penyandang disabilitas juga terlihat dari suksesnya penyelenggaraan Asean Para Games (PRG) 2018 yang menjadi bagian pemenuhan hak-hak penyandang disbilitas untuk berpartisipasi dalam bidang olahraga.
Kemampuan hebat
Penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang hebat dan setara dengan non-disabilitas. Kita mengenal Helen Keller, Steve Jobs, Stephen Hawking, Stevie Wonder, Ludwid van Bethoven, Agkie Yudistia, Nina Gusmita, M. Ade Irawan, dan Ramona Purba.
Hak yang sama akan menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosial, terutama bagi anak yang menyandang disabilitas di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Angkie Yudistia bisa menjadi jembatan mengenai apa saja yang dibutuhkan oleh 21 jiwa penyandang disabilitas di Indonesia.
Ia ditantang menciptakan strategi agar para difabel bisa mencapai kemandirian, melepas stigma ketidakmampuan menjadi kemampuan yang setara dengan non-penyandang disabilitas di pasar kerja.
Pengalaman Angkie dalam mengelola Thisable Enterprise bisa dijadikan contoh untuk membuka peluang lain yang lebih luas dan merata di seluruh pelosok nusantara.
Angka partisipasi sekolah
Persoalan lain yang menjadi pekerjaan rumah besar adalah soal angka partisipasi sekolah (APS).
Masih ada ketimpangan partisipasi sekolah antara penyandang disabilitas dan bukan disabilitas pada 2018, terlebih di perguruan tinggi.
Berdasarkan Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 persen.
Persentase tersebut jauh dari penduduk yang bukan penyandang disabilitas, yaitu mencapai 25,83 persen. Semakin tinggi kelompok umur, semakin rendah pula angka partisipasi sekolah (APS).
APS tertinggi terjadi pada kelompok umur 7-12 tahun, yaitu sebesar 91,12 persen untuk penyandang disabilitas dan 99,29 persen untuk bukan penyandang disabilitas.
Sementara itu, APS terendah terjadi pada kelompok umur 19-24 tahun, yaitu 12,96% untuk penyandang disabilitas dan 24,53% untuk penyandang bukan disabilitas.
Upaya membangun budaya inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas harus diteruskan digencarkan di sekolah termasuk di perguruan tinggi.
Sebagai salah satu pencetak SDM, Perguruan Tinggi diharapkan bisa bekerja sama secara lintas sektor dengan pemerintah dan lembaga lain untuk menyediakan tenaga pendidik yang berwawasan inklusif dan mampu melakukan layanan pembelajaran yang akomodatif sesuai kebutuhan peserta didik yang beragam.
Kesadaran masyarakat tentang disabilitas, menghilangkan stigma terhadap penyandang disabilitas, memberikan dukungan untuk meningkatkan kemampuan serta kesejahteraan difabel perlu ditingkatkan.
Cara pandang baru sangat diperlukan untuk masyarakat umum membantu percepatan peran penyandang disabilitas dengan memberikan fasilitas yang ramah difabel.
Edukasi terhadap pembuat kebijakan juga diperlukan agar tidak melahirkan kebijakan yang bernuansa diskriminatif, apatis, dan penuh apriori.
Kita berharap Staf Khusus Presiden bisa meningkatkan peran penyandang disabilitas dalam pembangunan bangsa.
Penulis: Agnes Setyowati Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan Editor: Heru Margianto