Setiap rumah menjadi sekolah. Di rumah, orang tua kita mulai mengenalkan pendidikan termasuk pendidikan karakter.
Agnes Setyowati
UNPAK - Guru, adalah sosok yang “digugu” dan “ditiru”. Begitu filosofi yang sering kita dengar. Artinya, guru memegang peran yang sangat penting dalam soal mendidik dan memberikan pengetahuan serta keteladanan kepada muridnya.
Lalu siapa saja yang bisa menjadi guru? Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menyampaikan, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.
"Orangtua, kakak, adik, saudara, tetangga, rekan kerja, atau siapa saja yang memberikan pengetahuan baru dan memiliki keteladanan bisa kita anggap sebagai guru. Setiap rumah menjadi sekolah. Di rumah, orang tua kita mulai mengenalkan pendidikan termasuk pendidikan karakter.
Orang tua adalah guru pertama bagi anaknya. Keluarga menjadi tempat pertama bagi setiap individu membentuk karakternya, tempat segala kebiasaan dan budaya ditanamkan dalam lingkup terkecil masyarakat yang akan melekat dan dibawa oleh anak-anak dalam kehidupannya.
Saat ini, fokus pembangunan sumber daya manusia (SDM) Kemendikbud salah satunya adalah pendidikan karakter yang menjadi prioritas pada jenjang pendidikan dasar, serta penyiapan generasi yang cakap dan terampil melalui jenjang pendidikan menengah dan pendidikan masyarakat.
Ini selaras dengan visi Presiden, agar pembangunan karakter bangsa, budi pekerti, sopan santun, nilai-nilai etika, dan agama menjadi perhatian dunia pendidikan ke depan dan dirayakan dengan gembira.
Hasil pendidikan saat ini Lalu apa hasil pendidikan kita saat ini?
Kita masih sering melihat peristiwa anak-anak sekolah dan orang-orang dewasa membuang sampah sembarangan, tidak mengerti cara mengantre, bersikap acuh tak acuh, bahkan kurang hormat terhadap orangtua dan guru, kurangnya sensitivitas, dan perkelahian antarwarga atau bahkan pelajar, perundungan, bahkan juga sikap-sikap intoleran di sekolah dan di masyarakat.
Kita juga menyaksikan perubahan perilaku zaman milenial yang mengarah pada gejala berkurangnya sosialisai dan interaksi antarindividu secara langsung, serta adanya kecenderungan menginginkan segala hal secara instan, padahal segala sesuatu bisa dicapai hanya melalui proses, yaitu melakukan kerja keras, disiplin, fokus, dan penuh kesabaran serta tidak mudah menyerah.
Kompetensi guru Fokus persoalan karakter tidak melulu pada siswa tapi kita perlu merenungkan sudahkah guru-guru memiliki karakter yang baik, seperti yang diharapkan pada anak didik?
Dalam kenyataannya, terkait dengan guru, kita masih menemukan banyak persoalan dan tantangan yang tidak ringan.
Kunci utama keberhasilan pendidikan karakter di sekolah formal adalah kompetensi guru dari tingkat PAUD sampai pendidikan menengah dan atas.
Guru di sekolah formal diharuskan memiliki berbagai kompetensi di antaranya pedagogik untuk bisa membawa kelas secara dinamis, komunikatif, dan mampu mengatasi keberagaman siswa dalam kelas dengan mendisain program pembelajaran yang sesuai.
Sejumlah siswa menyalami guru mereka seusai mengikuti upacara di Sekolah Dasar Negeri 060813 Medan, Sumatera Utara, Senin (25/11/2019). Menyalami guru oleh para siswa tersebut dalam rangka memperingati Hari Guru yang serentak dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Guru juga harus memiliki kompetensi sosial, kepribadian yang baik, serta profesional. Tuntutan-tuntutan guru di sekolah formal semakin lama semakin tinggi dan berat.
Salah satu tantangan berat yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia adalah hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015-2017 nilainya masih di bawah 70.
Tantangan lainnya adalah mengawal generasi mendatang yang tidak bisa dianggap remeh. Menurut data Kemendikbud, guru di Indonesia jumlahnya 3.017.296. Bandingkan dengan jumlah anak didik sebanyak 45.047.428 untuk sekolah umum.
Pendidikan karakter Persoalan lainnya, masih terdapat pandangan-pandangan keliru dari guru tentang pendidikan karakter.
Misalnya, banyak guru beranggapan pendidikan karakter hanyalah pelengkap sehingga siswa lebih banyak dijejali dengan pelajaran-pelajaran yang sifatnya akademis dengan mengesampingkan pendidikan karakter.
Padahal, akan berbahaya jika anak didik hanya berkembang secara akademis tapi tidak dalam karakter.
Masih banyak guru juga beranggapan bahwa pendidikan karakter hanyalah sebuah pengetahuan (kognitif). Padahal, pendidikan karakter adalah holistik, menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang perlu diasah secara khusus dan terencana.
Perlu upaya serius dalam menangani masalah mendasar dalam pendidikan kita, di antaranya mengubah pendekatan pendidikan dan pola pikir guru, tidak sekadar mengubah kurikulum.
Saat ini guru lebih diharapkan menjadi mentor siswa dalam mencari pengetahuan dan menuntun pada minat siswa karena guru bukan individu yang menguasai segala hal.
Juga bukan saatnya lagi guru menjadi patron yang menuntut untuk didengar segala “ocehannya” tetapi harus menjadi teman diskusi setiap muridnya, mengajak berpikir secara kritis, logis dan tidak menuntut murid menjadi penghapal, selaras dengan harapan Mendikbud.
Hal yang tidak sederhana untuk mendidik anak-anak menjadi kreatif, bertanggung jawab, disiplin, memiliki etos kerja dan empati.
Semua itu harus dimulai dari keluarga selama anak di rumah dan dilakukan oleh guru ketika di sekolah. Guru dan murid harus memiliki kemerdekaan dalam belajar, mengasah kreativitas.
Guru adalah penggeraknya, begitu kata Mendikbud Nadiem Makarim. Birokrasi harus direduksi. Pekerjaan administratif yang menyita waktu dan tenaga guru diminimalkan.
Guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah tidaklah cukup.
Satu lagi tugas guru yang krusial, ia harus mengajak siswa untuk bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas.
Poin ini memiliki sasaran agar siswa memiliki karakter bergotong-royong sebagai budaya Indonesia dan memiliki sensitivitas terhadap lingkungan. Pendidikan karakter berbasis budaya akan mengasah kemampuan kognitif, menumbuhkan logika berpikir sehingga sensitivitasnya terangkat.
Guru juga bukan sosok yang menguasai segalanya. Oleh karena itu, guru selayaknya memberikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas karena murid yang kreatif dan inovatif bisa menjadi guru untuk rekan-rekannya.
Yang tak tergantikan oleh digital Era Revolusi Industri 4.0 yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan di kalangan dunia pendidikan menimbulkan banyak pertanyaan di benak setiap orang untuk dapat menerjemahkan maknanya.
Revolusi 4.0 yang mengoperasikan teknologi digital yang serba canggih, dari istilah internet of things sampai analisis big data dan istilah 5.0 yang sudah mengintip dengan peran artificial intelegent (AI), siap menggantikan peran-peran manusia.
Tapi, teknologi tidak untuk menggantikan peran guru, terutama dalam membangun karakter.
Kemampuan teknis sangat diperlukan dalam Revolusi Industri 4.0. Namun, kemampuan soft skill lebih penting dan tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Jangan lupakan kemampuan intra dan interpersonal, yaitu kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi, berpikir kritis dan memecahkan masalah. Pada 2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi.
Pada tahun itu, angkatan muda akan lebih banyak daripada angkatan usia tua. Generasi emas 2045 sudah harus disiapkan.
Karakter yang harus dibangun dalam pendidikan kita dalam rangka menyongsong Indonesia emas yaitu kejujuran, disiplin, kapabilitas memimpin, dan kerjasama dalam tim dan berkolaborasi, memiliki kecerdasan emosional, kemampuan mengambil keputusan dalam kondisi apapun, memiliki sifat melayani (service orientation), serta kemampuan berbicara, bernegosiasi, kemampuan mencipta dan menjual produk, serta kemampuan merespons dan beradaptasi.
Penulis: Agnes Setyowati Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan Editor: Heru Margianto