Peta sebaran kasus Covid-19 di Indonesia (covid19.go.id)
Dari segi perundang-undangan, setidaknya kita memiliki dua undang-undang yang tegas mengatur spesifikasi penanganan wabah.
R. Muhammad Mihradi
UNPAK - Sebaran Virus Corona semakin berbahaya. Di Indonesia, per-29 Maret, terdapat 1.285 kasus (data 30 Provinsi). Ada 64 orang yang sembuh, sementara 114 meninggal.
Provinsi yang paling banyak terkena adalah DKI Jakarta, dengan pasien Covid-19 sebanyak 675 kasus (kompas.com, 29/3/202020). Virus ini telah menyebar di 200 negara
Menurut catatan worldometer, hingga Minggu (29/3/2020), jumlah kasus terbanyak tercatat ada di Amerika dengan 142.047 kasus, diikuti Italia dengan 97.689 kasus.
Jumlah kasus di kedua negara itu telah melebihi jumlah kasus di China, tempat kasus ini bermula. China tercatat memiliki 81.439 kasus.
Virus Corona tidak lagi disebut wabah, tapi pandemi karena cakupan sebarannya yang mendunia. Infeksi virus ini tidak memandang negara, status sosial dan kondisi fisik.
Virus yang semula berawal dari Wuhan China, menyebar liar ke seluruh pelosok dunia termasuk Indonesia—yang awalnya “agak kepedean” tidak mungkin terkena.
Penulis awam dari aspek kedokteran dan kesehatan. Namun penulis ingin mencoba menjernihkan situasi ini dari sisi hukum dan demokrasi sembari berbagi pemikiran bagi pemulihan republik yang muram dilanda wabah ini.
Sisi regulasi
Dari segi perundang-undangan, setidaknya kita memiliki dua undang-undang yang tegas mengatur spesifikasi penanganan wabah yaitu UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU 4/1984) dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018).
Kedua instrumen dimaksud secara regulasi belum terlalu lengkap diatur oleh peraturan teknis di bawahnya, terutama UU 6/2018. Hal ini tentu wajib menjadi prioritas pemerintah.
Ketentuan pada UU 4/1984 khusus di konsiderans menimbangnya memberikan landasan mengapa undang-undang ini terbit. Salah satunya antisipasi perkembangan iptek dan lalu lintas internasional.
Sedangkan pada pasal-pasalnya merumuskan ketentuan strategis. Seperti mendefinisikan wabah penyakit menular sebagai “kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.” (Pasal 1 huruf a). Jenis penyakitnya apa saja bisa ditetapkan Menteri (Pasal 3).
Upaya penanggulangannya pun beraneka bentuk seperti pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan kekarantinaan.
Selain itu, dapat melakukan penyuluhan kepada masyarakat (Pasal 5 ayat (1). Menariknya, Pasal 6 ayat (1) UU 4/1984 memuat aspek demokrasi dengan pernyataan “upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat secara aktif.”
Selain itu, yang menarik lainnya pada Pasal 8 ayat (1) disebutkan, mereka yang mengalami kerugian harta benda akibat penanggulangan wabah dapat diberikan ganti rugi.
Agar regulasi efektif, Pasal 14 mengatur pula siapa saja yang menghalangi penanganan wabah baik sengaja maupun alpa dipidana (bila dengan sengaja diancam pidana paling lama satu tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta dan apabila alpa, pidana selama lamanya enam bulan dan/atau denda setinggi-tingginya lima ratus ribu).
Apabila pilihan pemerintah melakukan kekarantinaan kesehatan maka diatur di UU 6/2018.
Kekarantinaan kesehatan ini di pintu masuk dan wilayah terpadu merupakan kewenangan pemerintah pusat---namun dapat melibatkan pemerintah daerah (Pasal 5 ayat (1) dan (2)). Penyiapan sumber dayanya tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah (Pasal 6).
Pada Pasal 9 ayat (1) setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Jika tidak mematuhi atau menghalang-halangi diancam pidana paling lama satu tahun dan atau denda paling banyak seratus juta rupiah (Pasal 93).
Pada Pasal 15 diatur kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan wilayah serta tindakan kekarantinaan kesehatan dapat berupa isolasi, pembatasan sosial skala besar, pemberian vaksinasi dan sebagainya. Sedangkan di Pasal 49 dalam rangka mitigasi dibagi jenis karantina, ada karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar.
Kebijakan pemerintah
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui keputusan kepala badan nasional penanggulangan bencana. Selain itu membentuk satuan gugus tugas (satgas) untuk itu. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 10 UU 6/2018.
Kemudian, sampai tulisan ini ditulis, ada pertimbangan dilakukan lockdown---yang dalam istilah regulasi Indonesia lebih dikenal karantina wilayah.
Adapun yang telah jalan---meski tersendat-sendat—adalah pembatasan sosial berskala besar. Cirinya tampak pada Pasal 59 ayat (2) UU 6/2018 yakni (a) peliburan sekolah dan tempat kerja; (b) pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Kabarnya—berkaca pengalaman Wuhan yang cepat pulih---pilihan lockdown paling efektif mengatasi pandemik Covid-19 selain rapid test seperti dilakukan Korea Selatan.
Hanya memang, pemerintah dituntut untuk melakukan kajian cepat, tepat dan terukur melalui perspektif multi disiplin. Seperti kesiapan pangan, stabilitas ekonomi, dampak sosial budaya serta keamanan.
Hal ini juga diamanatkan pada Pasal 49 UU 6/2018. Tentu para ahli baik praktisi maupun teoretisi sangat diharapkan kontribusinya dalam memberikan pertimbangan matang agar pemerintah dapat memutus akurat dalam mematahkan lingkaran persebaran pandemik Covid-19.
Solusi demokrasi
Sebenarnya, selain perspektif hukum, pemerintah dapat mengapitalisasi energi demokrasi dengan segala keterbatasannya.
Pertama, optimalisasi transparansi akses informasi. Pemerintah perlu diapresiasi setiap saat mengumumkan pasien yang positif Covid-19 diikuti dengan peta persebaran.
Ini dapat membantu dalam demokrasi agar warga memiliki kepercayaan pada pemerintah untuk mengatasi Covid-19. Tinggal semangat keberlanjutan transparansi dan akses informasi ini perlu terus dirajut.
Kedua, hindari penggunaan bahasa asing. Istilah lockdown, social distancing, work from home dan sebagainya, mungkin familiar di kalangan tertentu. Namun, di masyarakat dengan strata sosial yang belum teredukasi, istilah seperti ini tidak akrab.
Sebaiknya gunakan terminologi regulasi. Seperti karantina, pembatasan sosial. Atau diam di rumah untuk mengganti stay at home. Penggunaan istilah ramah publik harus diikuti pula dengan peningkatan eskalasi edukasi maknanya.
Ketiga, sosialisasi, edukasi dan penyuluhan masif dengan memanfaatkan pelbagai wahana, termasuk teknologi digital yang terukur.
Bagi penulis, ketika pemerintah meliburkan 14 hari bagi sekolah misalnya, ternyata pada awal implementasinya, diterjemahkan lain oleh publik. Ada yang liburan tamasya. Padahal peliburan ini untuk mencegah penyebaran wabah, yang seharusnya berdiam di rumah.
Ini harus selalu didiseminasikan agar tidak salah kaprah.
Demikian pula partisipasi publik harus terus dibangun. Di publik, mulai korporasi, perguruan tinggi bahkan pemilik warung tegal, secara sangat menyentuh berbagi upaya untuk mengurangi beban sesama yang terdampak dari Covid-19.
Filantropi dari hati rupanya tumbuh mekar terkapitalisasi di saat krisis.
Keempat, pemerintah, media, masyarakat dan parlemen harus peka krisis. Jangan bising. Saling menyalahkan. Mencari celah kalkulasi modal politik. Sekarang adalah saatnya saling bahu membahu. Hentikan pertikaian.
Demikian pula bagi publik wajib patuh pada pelarangan aktivitas di luar.
Namun, sisi lain, pemerintah perlu memikirkan para pekerja yang tidak dapat bekerja di rumah. Termasuk parlemen baik di pusat maupun daerah harus mengerahkan segenap kapasitasnya untuk mendukung secara kritis semua kebijakan yang dapat menghentikan peredaran wabah Covid-19.
Ini ujian besar bagi semua. Kedewasaan berdemokrasi menjadi keniscayaan.
Kelima, jika pilihannya karantina wilayah, maka penegakan hukum harus tegas. Ini saatnya negara berwibawa. Termasuk pula memastikan lalu lintas hoaks dan informasi menyesatkan dapat segera ditindak. Sebab hal ini makin memperkeruh suasana.
Namun di sisi lain, semua tindakan harus terukur. Termasuk merawat publik untuk selalu optimistis, berpikir positif dan mengambil hikmah dari kasus ini.
Bagi penulis, jika Indonesia lolos dari Covid-19 maka kita memiliki benefit masa depan. Salah satunya modal sosial kedisiplinan dalam bernegara.
Negara yang dapat pulih dari Covid-19 dipastikan memperoleh pelajaran berharga soal kapan berdiskusi, kapan bertindak dan kapan ekstra patuh pada aturan.
Sekaligus hal ini juga menunjukkan kualitas ganda dari pemimpin dan rakyatnya. Pemimpin dan rakyatnya akan terlihat mutunya ketika diuji pada masa krisis.
Saatnya, tagline seperti: saya Pancasila, bersama kita bisa atau apa pun pamfletnya, diwujudkan secara nyata, bergotong royong dan terpadu. Manunggal pemerintah dan rakyatnya melawan pandemi Covid-19.
Penulis: Raden Muhammad Mihradi, S.H., M.H.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan. Staff Ahli Komite III DPD RI