Inilah Keuntungan Orang Tua Memiliki Anak yang Saleh
Bagi orang tua, keuntungan memiliki anak yang saleh memiliki implikasi di akhirat. Foto ilustrasi/ist
KHAZANAH ISLAM — Setelah Allah memberi karunia manusia berpasang-pasangan, yakni laki-laki dan perempuan disatukan dalam sebuah mahligai rumah tangga, maka Allah Ta’ala memberi rezeki yang lain kepada pasangan suami istri itu, yakni berupa anak. Selain sebagai rezeki dan karunia, anak juga merupakan amanah bagi orang tuanya.
Allah Ta’ala akan menguji orang tuanya, bagaimana cara mereka mendidik anak. Ternyata, meski dari kalangan keluarga muslim, masih banyak orang tua yang gagal mendidik anaknya seperti dikehendaki Allah. Jangankan memberi contoh agar anak tumbuh menjadi pribadi yang bertakwa, kebanyakan orang tua justru ikut mengarahkan anaknya di jalan yang sia-sia bahkan keliru, jauh dari syariat agama.
Masih banyak orang tua yang mementingkan perkembangan anak dari segi intelektual, fisik, dan ekonomi semata. Mereka mengabaikan perkembangan iman. Orang tua terkadang berani melakukan hal apapun yang penting kebutuhan pendidikan dunia anak-anaknya dapat terpenuhi. Materialistis diutamakan.
Sementara untuk memasukkan anak-anak mereka pada pendidikan berbasis Al-Qur’an masih diabaikan dan bukan prioritas. Padahal aspek iman merupakan kebutuhan pokok yang bersifat mendasar bagi anak. Bahkan, yang menjadi masalah, harapan orang tua agar anaknya menjadi anak saleh hanya sebatas di hati saja.
Banyak orang tua tidak tahu kemana anaknya akan diarahkan menuju pribadi yang saleh dan baik akhlaknya. Artinya, obsesi orang tua kadang tidak sejalan dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha adalah hayalan semu yang tak akan mungkin dapat menjadi kenyataan.
Karena itu sebagai orang tua yang bijaksana, mesti mampu memperhatikan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam melahirkan anak yang saleh. Orang tua harus menumbuhkan kepercayaan pada si anak bahwa pendidian iman dan agama sangat penting bagi dirinya dan bermanfaat untuk orang tuanya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam, bersabda:
.“Jika wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang saleh yang selalu mendoakannya.” (HR.Muslim)
Karena itu, anak-anak kaum muslimin perlu dilatih memiliki optimisme yang tinggi dan benar. Optimisme yang dibangun berdasarkan rajaˈ (sikap berharap), raghbah (semangat meraih cita-cita), dan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla. Tumbuhkan optimisme bahwa agama dan iman adalah prioritas utama untuk pendidikan di dunia agar mencapai kebahagiaan di akhirat. Jadikan akhirat sebagai cita-cita utama. Maka, rajaˈ, raghbah, dan tawakkal merupakan ibadah yang amat penting bagi kehidupan manusia untuk meraih pahala dan meraih cita-cita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang rajaˈ yang membuktikan bahwa ia termasuk ibadah:
”Maka barangsiapa yang mengharap berjumpa dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengamalkan amal shalih dan tidak mempersekutukan dengan siapapun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS Al-Kahfi : 110)
“Orang-orang yang mereka seru (yang mereka jadikan tumpuan doa) itu, mereka sendiri justeru mencari jalan (wasîlah) langsung menuju Rabb mereka. (berlomba) siapakah di antara mereka yang lebih dekat kepada Allah, mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabb-mu itu adalah perkara yang harus ditakuti.” (QS Al-Isra : 57)
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Madarij as-Salikîn menjelaskan: Mencari jalan (wasîlah) menuju Allah artinya mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan peribadatan kepada-Nya dan memberikan kecintaan kepada-Nya. Pada ayat ini Allah menyebutkan tiga pilar keimanan penting yang menjadi tumpuan, yaitu : cinta, takut dan harapan (rajaˈ ).
Demikian pula raghbah, ia juga merupakan ibadah yang penting. Allah Subhanahu wa Ta’ala antara lain berfirman :
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan (semangat) berharap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (QS Al-Anbiya : 90)
Apalagi tawakkal. Jelas bahwa tawakkal merupakan ibadah yang teramat penting, karena tawakkal merupakan tolok ukur keimanan seseorang. Allah Subhanahu wa Ta’ala antara lain berfirman :
“Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya engkau bertawakkal, apabila kamu benar-benar beriman.” (QS Al-Maˈidah : 23)
Pembinaan bagi tumbuhnya sikap rajaˈ, raghbah dan tawakkal, amat sangat penting ditanamkan pada diri anak-anak semenjak dini. Hal ini supaya semangat dan optimisme mereka kelak terbentuk secara utuh dalam rangka meraih cita-cita masa depan terbaik, yaitu cita-cita ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebahagiaan hidup di akhirat.
Anak-anak yang diharapkan menjadi generasi pantang putus asa. Generasi yang tangguh, karena sandaran mereka hanya kepada Allah Azza wa Jalla.
Rajaˈ, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan harapan, hakikatnya adalah sesuatu yang mendorong dan memotivasi hati menuju hal yang disukainya, yaitu mendapat ridha Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat. Atau pengertian-pengertian yang senada. Intinya rajaˈ adalah sikap berharap yang mendorong hati untuk bersemangat dalam meraih cita-cita.
Dan rajaˈ ini, asasnya adalah husnudzan (berbaik sangka) terhadap Allah dan terhadap kasih sayang-Nya, sehingga memangkas habis rasa putus asa. Karenanya Rasûlullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberi peringatan kepada umatnya:
“Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia mengatakan: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiga hari sebelum beliau wafat, bersabda: Janganlah seseorang di antara kalian mati kecuali ia dalam keadaan berhusnudzan (berbaik sangka) kepada Allah. (HR. Muslim).
Menurut penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, sebenarnya rajaˈ atau harapan, terdiri dari tiga macam. Dua terpuji, dan satu tercela. Dua yang terpuji adalah:
Pertama, rajaˈ (harapan) nya seseorang yang berbuat ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla berdasarkan cahaya ilmu dari Allah. Maka ia adalah orang yang mengharapkan pahala dari Allah Azza wa Jalla.
Kedua, harapan seseorang yang berbuat dosa kemudian bertaubat, maka ia adalah orang mengharapkan ampunan, maaf, kebaikan, kemurahan dan santunan Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan rajaˈ yang tercela adalah, seseorang yang terus menerus meninggalkan ketaatan dan terus menerus berbuat kesalahan, namun ia berharap kasih sayang dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa mau berusaha. Ini adalah fatamorgana, angan-angan kosong dan harapan dusta.
Adapun raghbah (semangat meraih cita-cita), hakikatnya mirip dengan rajaˈ. Bedanya, rajaˈadalah bentuk harapan besarnya, sedangkan raghbah adalah bentuk usahanya. Dengan demikian, raghbah sejatinya merupakan buah dari rajaˈ. Apabila seseorang punya harapan terhadap sesuatu, maka ia akan bersemangat melakukan usaha untuk mendapatkannya.
Hubungan antara raghbah dengan rajaˈ, laksana hubungan antara lari dan takut. Orang yang mengharapkan sesuatu niscaya akan berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Demikian pula orang yang takut, maka ia akan lari dari apa yang ditakutinya.
Artinya, suatu harapan tidak akan disebut harapan yang sebenarnya kalau tidak ditindak lanjuti dengan tindakan nyata. Dan optimisme yang baik In syaˈAllah akan terbentuk melalui pembinaan yang benar tentang rajaˈ dan raghbah. Dan hal ini akan menjadi sempurna dengan tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
Pembinaan anak-anak ke arah itu adalah dengan memberikan penjelasan akan janji-janji Allah Azza wa Jalla bagi orang-orang yang bertakwa. Anak juga perlu diberi penjelasan akan ancaman-ancaman-Nya bagi orang-orang yang durhaka, melalui proses pengajaran dan pendidikan berbasis Al-Qur’an.
Dalam pendidikan berbasis iman itulah, akan terbentuk anak yang saleh. Anak yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Sementara telah sama diketahui bahwa anak yang senang mendoakan orang tuanya adalah anak yang sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta’ala , dan menjauhi larangan-laranganNya.
Anak yang saleh adalah anak yang tumbuh dalam naungan Dien-Nya, maka mustahil ada anak yang dapat mendoakan orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta’ala dan senang bermaksiat kepada-Nya. Anak yang senang bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Bagi orang tua, keuntungan memiliki anak yang saleh memiliki implikasi di akhirat. Amalan-amalan anak senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera terkabul oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala .