JAKARTA - Beberapa negara kembali melaporkan kasus baru Corona usai dinilai sukses menangani wabah. Seperti yang terjadi pada Korea Selatan, Beijing dan beberapa negara lain yang menghadapi ancaman gelombang kedua Corona.
Dikutip dari South China Morning Post, lonjakan kasus Corona yang kembali dilaporkan beberapa negara belum bisa diartikan sebagai gelombang kedua Corona atau tidak. Banyak ahli yang berhati-hati dalam menentukan apakah suatu negara tengah menghadapi wabah kedua Corona.
Sebab, peningkatan kasus Corona di beberapa negara juga berkaitan dengan penerapan social distancing yang belum dilakukan serentak oleh semua warga. Sehingga belum bisa dipastikan apakah suatu negara memang sedang menghadapi gelombang kedua karena bisa jadi lonjakan kasus Corona yang dilaporkan adalah kasus yang belum usai di gelombang pertama.
John Mathews, profesor di University of Melbourne's School of Population and Global Health mengatakan gelombang kedua biasanya akan ditandai dengan penurunan dramatis diikuti oleh pelaporan tiba-tiba jumlah kasus Corona yang tinggi.
"Tapi tidak ada yang benar-benar mendefinisikan skala yang diperlukan untuk menagatakan kita sedang menghadapi gelombang kedua, baik dari segi waktu, atau ruang, atau skala dari jumlah [kasus] yang terlibat," jelas Mathews, mantan wakil petugas medis untuk pemerintah Australia.
Fenomena gelombang kedua pun paling banyak dikaitkan dengan pandemi influenza masa lalu. Pandemi flu 1918, yang menginfeksi 500 juta orang dan membunuh 50 juta di seluruh dunia, terkenal karena gelombang kedua disebut jauh lebih mematikan di musim gugur, beberapa bulan setelah gelombang pertama. Gelombang ketiga terjadi di sejumlah negara pada tahun 1919.
Mathews mengatakan, gelombang kedua yang mirip influenza dapat didorong oleh perubahan karakteristik virus atau perubahan perilaku seseorang. Perubahan pada karakteristik virus lah yang diduga berperan dalam gelombang kedua pandemi flu 1918.
"Kami tidak berpikir itu akan terjadi segera terkait dengan virus Corona," kata Matthew mengingat tingkat kekebalan saat ini masih rendah dibandingkan dengan perkiraan 60-70 persen orang yang perlu divaksinasi atau terpapar virus Corona COVID-19 untuk benar-benar menghentikan penyebaran Corona.
Disebutkan, sejumlah populasi saat ini tetap rentan terhadap virus Corona COVID-19. Penentu utama berkembangnya penularan Corona semakin luas adalah perilaku masyarakat dan respons pemerintah.
Hannah Clapham, seorang ahli epidemiologi dan asisten profesor di Sekolah Kesehatan Masyarakat Saw Swee Hock, Universitas Nasional Singapura, setuju bahwa faktor kritis pada tahap pandemi ini adalah langkah-langkah kesehatan masyarakat dalam menanggapi kenaikan baru dalam kasus Corona.
"Yang mengkhawatirkan adalah kita melihat peningkatan dalam jumlah kasus dan kemudian jumlah kasus yang tinggi lagi di banyak tempat, kadang-kadang jumlah kasus yang lebih tinggi daripada di puncak sebelumnya dalam epidemi."
Sementara beberapa ahli lain merasa sejarah pandemi flu 1918 kemungkinan akan berulang.
"Hampir bisa dipastikan gelombang epidemi kedua akan datang, karena kami tidak akan melihat pasokan vaksin sebelum gelombang kedua Corona tiba," kata Gabriel Leung dekan fakultas kedokteran Universitas Hong Kong.
"Setelah pertengahan atau akhir musim gugur akan menjadi tahap kritis lainnya," lanjut Gabriel.