Hukum wajib menjadi perekat perbedaan untuk menghasilkan arah yang lebih baik.
R. Muhammad Mihradi
UNPAK — Apakah demokrasi harus cuti panjang selama masa pandemi Covid-19? Sebab, seolah-olah paradoks. Demokrasi menuntut perbincangan panjang untuk mengambil kebijakan publik. Kerap gaduh. Debat dan analisa bertaburan.
Sementara, pemerintah dituntut memutus dengan kebijakan publik yang tepat dan terukur. Sebab, pandemi Covid-19 tidak bisa menunggu. Bisa jadi ini sesuatu yang bergumul di hati publik. Namun sukar diungkapkan.
Bagi penulis, tidak mudah mengupas ini. Tapi niscaya harus dibedah. Sebab, ini esensi hidup bernegara yang diperjuangkan berdarah-darah oleh para pendiri bangsa.
Memang, problematikanya, ketika republik didirikan, tidak didesain untuk diuji pandemi. Artinya, negara yang dimatangkan dalam peradaban proklamasi 17 Agustus 1945, berakar dari visi republik yang diharapkan normal. Meski saat disusun kondisi tidak normal.
Demokrasi sebagai strategi
Pandemi Covid-19 memang mengejutkan. Tidak ada negara di belahan dunia yang memprediksi akan terjadi seperti ini. Meski ada film-film fiksi holywood meramalkan ganasnya wabah virus.
Namun, itu seperti lukisan pantai yang disajikan untuk dinikmati sembari mengunyah popcorn. Lalu, film yang fiksi menjadi realitas. Pandemi Covid-19 menerjang. Korban berjatuhan. Negara harus bertindak tidak hanya cepat tapi tepat.
Dalam konteks dan kondisi demikian, demokrasi bagi penulis memerlukan strategi merangsang publik melawan pandemi Covid-19. Tentu untuk mencapai arah ke sana, perlu perbaikan persepsi soal demokrasi di sana sini.
Pertama, harus dipahami dilema demokrasi yang tidak dapat begitu saja ditepis.
Menurut filsuf Lefort, dilema demokrasi mencakup di satu sisi dalam demokrasi terbuka ruang keterbukaan dan konflik terus menerus, namun di sisi lain demokrasi sebagai rezim menyaratkan institusionalisasi dan proteksi melalui hukum.
Maka, Lefort berpandangan, untuk menyelesaikan dilema tadi, demokrasi harus di dorong ke arah perluasan dan pendalaman demokrasi sehingga menjangkau mereka yang tersingkirkan (atau disingkirkan dalam demokrasi).
Namun di sisi lain, hukum dan pranata politik wajib diperkuat dalam ruang tumbuh kembang demokrasi yang membuka suasana partisipasi dan daulat rakyat yang otentik (Robertus Robert, 2008:57-58).
Kedua, pelembagaan daulat rakyat dalam pranata hukum yang kontekstual.
Sebenarnya, perubahan UUD 1945 pasca-reformasi telah menyediakan ruang norma yang cukup untuk negara secara supel dan fleksibel mengatasi gejolak di publik. Ilustrasi virus corona yang merebak di Indonesia. Lihat Foto Ilustrasi virus corona yang merebak di Indonesia.
Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang pra-perubahan menghendaki kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Maka, pasca-perubahan UUD 1945 diubah, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Perubahan ini sebenarnya menganut aliran pemikiran Sri Soemantri bahwa kedaulatan memang di tangan rakyat namun pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan (Jimly Asshidiqie, 1994:77).
Jadi, tidak ada lagi otoritas tunggal yang merepresentasikan rakyat yang selama ini diidentifikasi sebagai MPR namun yang bekerja adalah otoritas yang didasari pada bagaimana ketentuan hukumnya.
Dengan begitu, selama hukumnya akuntabel, serasi dengan aspirasi rakyat, maka legitimasi negara semakin kuat. Adagium sebaliknya juga berlaku.
Ketentuan daulat rakyat yang dialirkan pada hukum menjadi modal luar biasa bagi pemerintah menghadapi pandemi Covid-19. Beberapa pasal dalam UUD 1945 memberikan ilham untuk pranata kemendesakan pemerintah bisa mengambil tindakan segera dan tepat dalam konteks pandemi.
Seperti Pasal 12 UUD 1945, Presiden bisa menyatakan keadaan bahaya di mana syarat dan akibatnya diatur undang-undang.
Demikian juga Pasal 22 UUD 1945 di mana Presiden berhak menetapkan Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perppu) dalam kegentingan yang memaksa.
Tidak bisa digunakan sewenang-wenang
Namun, tidak lantas, berbagai senjata pemerintah di atas dalam mengatasi kondisi kemendesakan bisa digunakan sewenang-wenang.
Pertama, dalam demokrasi, menurut filsuf Slavoj Zizek, kekuasaan yang ditempati atas nama rakyat selalu tempat kosong yang temporal. Tidak permanen. Sehingga selalu ada sistem elektoral untuk menegaskan temporal tadi.
Ketika tempat kosong temporal tadi hendak dipermanenkan dengan menepis elektoral sekalipun maka ia berubah jadi totalitarianisme.
Kedua, pemerintah tidak bisa memilih satu dua pasal dalam konstitusi lalu menegasikan pasal lainnya. Ketika missal pemerintah menetapkan Perppu maka dalam sidang berikutnya, Perppu tadi harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kehadiran DPR menunjukkan daulat rakyat yang mengimbangi pemerintah.
Tentu dengan syarat, DPR semakin terakumulasi kapital karakternya mendekati otensitas suara publik. Demikian juga ketika ada kritik, beda pandangan dan pendapat misalnya dalam menangani pandemi, pemerintah tidak boleh membungkam suara yang berbeda sebab terdapat Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat.
Tentu kebebasan ini juga ada batasnya selama tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat tindak pidana yang diatur terang benderang dalam pelbagai aturan hukum.
Kematangan demokrasi
Demokrasi kita memang telanjur dipersepsi selalu demokrasi konsensus.
Tabiatnya melembekkan berbagai perbedaan dan menghomogenisasi publik. Padahal, menurut Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, “mustahil mengandaikan homogenitas dalam kondisi politik demokrasi yang plural”.
Maka, mendesak demokrasi diradikalkan dengan bukan mengabaikan konflik namun mengolah konflik/antagonisme dalam bingkai demokrasi. Hal ini diawali dengan mengidentifikasi kelompok yang bertentangan bukan sebagai musuh melainkan lawan yang bersahaja (friendly enemy).
Dengan begitu pandangan buruk akan konflik akan berkurang dan pluralisme atau kemajemukan dipandang positif (Boni Hargens, 2006:95-96). Jadi, kematangan demokrasi akan melihat perbedaan adalah keniscayaan.
Seperti pelangi indah karena berwarna warni. Jika satu warna, rasanya pelangi hilang keindahannya. Jadi, mengelola perbedaan, merawat kontra gagasan akan melahirkan suatu kebijakan publik yang sarat dengan nutrisi pertimbangan yang cukup (deliberasi).
Publik dirangsang untuk memikirkan seperti pandemi Covid 19 sebagai bukan urusan pemerintah belaka. Tapi menjadi bagian dari kepentingan bersama.
Dengan begitu, ketika pemerintah meluncurkan kebijakan New Normal menghadapi pandemi Covid 19, publik akan selaras seirama menyesuaikan arah kebijakan negara sehingga dapat hidup lebih baik di tengah pandemi dengan disiplin mematuhi protokol kesehatan.
Selain itu, hukum tidak boleh ditinggal ketika membalut kebijakan. Sebab, jika hukum tertinggal, maka trias tujuan hukum yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan akan menjadi rusak. Kita harus belajar dari kerusuhan di Amerika Serikat ketika hukum melakukan diskriminasi, kemarahan publik sukar dibendung.
Hukum wajib menjadi perekat perbedaan untuk menghasilkan arah yang lebih baik. Dengan catatan, hukumnya diproduksi dari proses demokrasi yang optimal serta diadopsinya asas-asas dan prinsip-prinsip hukum universal sebagai basis pematangan kemanusiaan.
Pada akhirnya, tubuh demokrasi di lorong pandemi merupakan batu uji bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengharmonisasikan langkah menghadapi pandemi Covid-19 dengan sinergi. Hal itu baru bisa tercapai jika semua pihak dewasa menghadapi masalah.
Hadits Nabi (HR Bukhari dan Muslim) mengatakan “orang yang kuat adalah orang yang bisa, sanggup, dan mampu mengendalikan dirinya sendiri ketika dia sedang marah”.
Penulis rasa ini berlaku baik bagi negara maupun warganya.