Karut Marut Presidensial oleh R Muhammad Mihradi, S.H., M.H
Peristiwa mencekam konflik KPK versus Polri diawali dari usulan Presiden pada DPR RI untuk pengangkatan calon Kapolri Budi Gunawan. Saat DPR RI menseleksi, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus “rekening gendut”. Sontak semua kalangan elite politik kalang kabut. Suatu keajaiban tiba. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang lazimnya berseteru, mendadak solid. Bergandengan tangan meloloskan seleksi fit proper test calon Kapolri Budi Gunawan. Bola panas kembali ke Presiden Jokowi. Dalam kegalauan, akhirnya Presiden menunda pelantikan Budi Gunawan dan mengangkat Plt Kapolri Badrodin Haiti. Pasca pelantikan Plt Kapolri, lalu secara “kebetulan”, Polri menetapkan Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) selaku tersangka kasus kesaksian palsu pilkada Kotawaringin Barat. Mudah diduga, api tersulut. Konflik KPK vs Polri tak terelakan. Serupa konflik masa lalu kasus Cicak-Buaya.
Akar Konflik Penulis tidak mengulas mengenai sisi hukum konflik KPK vs Polri, mengingat tulisan demikian sangat berserak di media. Namun, penulis ingin mengupas, bagaimana posisi Presiden Jokowi dalam konflik tersebut dan bagaimana relasinya dengan sistem presidensial yang dianut pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945.
Pertama, harus diakui, baru kali ini kita memiliki Presiden unik. Bukan berlatar belakang pimpinan parpol. Seorang profesionalisme bisnis yang terjun ke birokrasi melalui jabatan Walikota Solo dan Gubernur DKI. Dalam konteks ini, keunikan latar Presiden rentan digoyang (dibully). Sebab, bangunan sistem presidensial Indonesia diletakkan di atas jerami sistem multi partai. Akibatnya, tidak heran, sejak pertama kali terpilih, membentuk kabinet dan menjalankan tugasnya, parpol senantiasa berupaya keras untuk mempengaruhi kinerja Presiden Jokowi. Bukan rahasia umum, persaingan kubu Jokowi dengan Prabowo pada masa capres yang berbentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH) versus Koalisi Merah Putih (KMP), tidak berakhir pasca pemilu presiden usai. Namun berlanjut dan pindah arena. Tidak heran, akhirnya di masa masa awal pemerintahan, Presiden Jokowi mengalami perlawanan hebat dari KMP yang berada di Senayan.
Kedua, dalam suasana sistem presidensial bercita rasa parlementarisme (karena basisnya multi partai), Presiden Jokowi menegaskan bahwa pilihannya membentuk cabinet didasarkan profesionalisme. Bukan titipan partai. Namun, antara pernyataan dan kenyataan sulit ditepis. Bayang-bayang partai pengusung Presiden Jokowi, yaitu PDI-Perjuangan beserta KIH, tetap mempengaruhi pembentukan kabinet. Tidak heran ada posisi-posisi tertentu yang tidak dapat dibantah terkesan jatah partai. Hal ini merembet pula pada pengisian calon Kapolri. Sebab, Budi Gunawan ditengarai selain Polri aktif, juga memiliki kedekatan politik dengan sejumlah partai, apalagi pernah menjadi ajudan Presiden selama pemerintahan Presiden Megawati. Tidak heran sinyal KPK yang pernah (dari berbagai info media) mewarnai merah untuk Budi Gunawan, diterabas oleh Presiden Jokowi. Disadari atau tidak, pengusulan Budi Gunawan memiliki bobot politis luar biasa yang tidak dapat dinafikan.
Bacaan menarik ini, selengkapnya bisa unduh file di bawah ini :