Politik Dinasti dan Potensi Korupsi Dalam Perspektif HAM
Webinar Nasional Politik Dinasti dan Potensi Korupsi Dalam Perspektif HAM
UNPAK — Fakultas Hukum Universitas Pakuan menyelenggarakan Webinar Nasional yang bertemakan "Politik Dinasti dan Potensi Korupsi Dalam Perspektif HAM" secara hybrid, (30/09/2021).
Kegiatan tersebut di moderatori oleh R. Muhammad Mihradi, S.H., M.H, Ketua Pusat Unggulan Konstitusi dan HAM Fakultas Hukum Universitas Pakuan, serta pemberian materi oleh narasumber yang ahli dibidangnya antara lain :
1. Prospek Pengaturan Pembatasan Politik Dinasti Dalam Regulasi Pilkada dan Kepartaian Pasca Putusan MK
H Arsul Sani, S.H., M.Si (Anggota DPR-RI Fraksi PPP)
2. Menelisik Politik Dinasti Kepala Daerah Dalam Perspektif Demokrasi
Dr. Burhanudin Muhtadi (Direktur Indikator Politik Indonesia/Pengamat Politik)
3. Politik Dinasti dan Potensi Korupsi Dalam Perspektif HAM
Dr. Yenti Garnasih, S.H.,M.H (Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor)
Maraknya gejala politik dinasti yang menguat di Indonesia, serta pro-kontra di ruang publik mengemuka. Para kelompok pendukung politik dinasti memandang, soal mencalonkan dan dicalonkan dalam pemilihan pilkada.
Secara normatif, UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perpu Pilkada, sempat mengatur pada pasal 7 huruf r nya beserta penjelasan yang menekankan calon kepala daerah tidak boleh ada konflik kepentingan dengan pertahanan. Namun, pasal 7 huruf r tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menguji UU Pilkada 2015 terhadap UUD NRI tahun 1945, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945, sebab dinilai melanggar hak konstitusional warganegara untuk memperoleh hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Burhanudin Muhtadi menegaskan, politik dinasti memasuki wilayah etika di mana terkait ketersediaan ruang setara bagi kader lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan para elite. Apakah kontestasi dalam pilkada misalnya menjadi fair atau tidak.
Data menunjukan, berdasarkan data Kemendagri yang diolah oleh ICW, sejak 2013, ada 58 dinasti politik di Indonesia. Melalui dinasti politik, sangat mungkin terjadinya korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch sampai Januari 2017, paling tidak ada enam kepala daerah pelaku korupsi yang diketahui berkaitan dengan dinasti politik di daerahnya, yaitu Ratu Atut Chossiyah (Gubernur Banten 2007-2017) korupsi pengadaan alat kesehatan dan suap sengketa pilkada Kabupaten Lebak, Atty Suharti (Walikota Cimahi 2012-2017) suap proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi, Sri hartini (Bupati Klaten 2016-2021) suap dalam promosi jabatan PNS, Yan Anton Ferdian (Bupati banyuasin 2013-2018), suap proyek pengadaan di Dinas Pendidikan, Syaukani Hasan Rais (Bupati Kutai Kertanegara 1999-2010) korupsi pembangunan Bandara Samarinda, dan Fuad Amin (Bupatin Bangkalan 2003-2012) suap jual beli gas alam untuk pembangkit listrik serta melakukan pencucian uang atas harta yang diduga dari hasil korupsi.
Berbagai fakta di atas memberikan sinyal bahwa politik dinasti tidak lagi bisa dipahami semata-mata persoalan etika, namun membuka pintu bagi masuknya praktik korupsi. Apabila korupsi timbul maka dipastikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga mengemuka karena praktik korupsi telah merampas hak-hak masyarakat, baik sosial, ekonomi dan budaya. Tidak hanya itu, kemampuan negara menjadi berkurang karena dikorupsi. Kapasitas negara dilumpuhkan oleh praktik korupsi.
Dengan demikian, kasus dinasti politik bisa ditinjau dari pelbagai perspektif, dari sudut politik, politik dinasti atau dinasti politik merupakan bentuk dominasi kekuasaan aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaan kepada keluarganya yang kemudian dikapitalisasi di mana kekuasaan ekonomi politik hanya dikuasai keluarga aktor politik. Akibatnya, kekuasaan tidak mampu menjalankan fungsinya mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bahkan,tidak mustahil menjauhkan dari esensi demokrasi yang fair. Sedangkan dari sudut hukum, nampak, politik dinasti membawa implikasi serius ke arah potensi korupsi. Begitu korupsi terjadi, maka pelanggaran HAM menjadi dominan. Martabat kemanusiaan dirusak karena akses negara didefisitkan oleh timbunan korupsi.Maka, bagaimana peluang jika dibatasi dinasti politik melalui undang undang partai politik.
Atas dasar argumentasi di atas, oleh karenanya Webinar "Politik Dinasti dan Potensi Korupsi Dalam Perspektif HAM" diselenggarakan. Guna memberikan masukan, pemikiran dan gagasan konstruktif dalam rangka kajian politik dinasti untuk meningkatkan Mutu demokrasi, serta mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian kepada masyarakat. (Mei)