Pilkada Serentak Tetap Digelar, Ini Tanggapan Pakar Hukum
Pilkada Serentak Tetap Digelar, Ini Tanggapan Pakar Hukum dan Akademisi Universitas Pakuan
KOTA BOGOR – Fakultas Hukum Universitas Pakuan menggelar acara Seminar Nasional dengan Tema “Kesiapan Pilkada di Tengah Pandemi : Perspektif Hukum Tata Negara”. Hadir dalam acara seminar tersebut Dekan Fakultas Hukum, Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H, Komisioner Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Yulianto, S.H, Dr. Dwi Andayani Bs., S.H., M.H, dan Staf Ahli Komite III DPD RI sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan, R. Muhammad Miradi, S.H., M.H.
Menurut Miradi, berdasarkan data per Selasa 17 November 2020, total kasus positif Covid-19 berjumlah 474.455 orang. Yang wafat mencapai 15.393 orang. Sembuh 398.636 orang. Per 13 September 2020, sebanyak 115 orang dokter wafat terkena Covid-19. Serta Per 17 November 2020, menurut juru bicara satgas covid, Sebanyak 17 daerah meningkat statusnya dari zona oranye ke zona merah Covid-19 per 15 November. Total terdapat 28 kabupaten/kota yang masuk dalam zona risiko tinggi penyebaran virus corona. Selain itu, dua kapolda, yaitu Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi dan Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dicopot oleh Kapolri karena dinilai tidak menegakan protokol kesehatan. Hal ini nampaknya terkait kerumunan massa penjemputan Habib Riziek Shihab.
“Maka, atas berbagai fenomena di atas, apakah pilkada serentak di Desember 2020 masih relevan dipertahankan? Bukankah keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Bagaimana perlakuan perbedaan kebijakan, meski menggunakan dasar hukum jika pilkada dibolehkan sementara acara kerumunan lain dilarang. Bahkan, sampai dua petinggi hukum dicopot karena itu,” tutur Miradi.
Tambahnya, bagi pemakalah, terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengundurkan waktu pilkada ke bulan Desember 2020, pertimbangannya penanggulangan Covid-19. Maka karena kegentingan memaksa, sebaiknya, Presiden dapat kembali menerbitkan Perppu yang senafas dengan alasan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 namun substansinya setidaknya memuat bisa memilih dua hal.
“Pertama, menunda pilkada untuk tahun ini dengan alasan meluasnya pandemi Covid-19 atau setidaknya kedua, hanya boleh diselenggarakan pilkada tahun ini di daerah zona kuning dan hijau dengan protokol kesehatan ketat serta dikontrol oleh Gugus Tugas Covid-19. Selain dua hal di atas, harus dipastikan, pengawasan yang lebih melembaga agar tidak terjadi politik uang maupun lahirnya pemimpin daerah yang tidak memiliki integritas. Edukasi dan literasi pemilihan bermutu wajib diperkuat bagi calon pemilih,” tandasnya.
Sebelumnya menurut Dekan Fakultas Hukum, Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H, Pilkada serentak pernah ditunda dikarenakan adanya Pandemi Covid-19 dan hingga saat ini masih belum atau mereda bahkan naik. Dan menurutnya jka dilihat dari sudut pandang demokrasi dan pemikiran – pemikiran praktis, Pilkada ini harus dilaksanakan, dan jika tidak dilaksanakan maka banyak di daerah – daerah yang harus dijabat oleh Pelaksana Tugas (PLT) sehingga dikhawatirkan tidak bisa membuat keputusan – keputusan strategis.
“Namun di satu sisi lain ada ancaman atas keselamatan rakyat yang juga ikut dalam Pilkada ini, yang diselenggarakan di masing – masing daerah, untuk itu maka negara harus dapat memastikan warganya tidak terkena atau terpapar Covid-19 yang dengan memperketat protokol kesehatan salah satunya yakni 3M,” terangnya.
Tambahnya, dalam tahapan – tahapan protokol kesehatan dalam pelaksanaannya, harus dipastikan dilakukan dengan ketat, yakni dimana dan kapan warga melakukan protokol. Kesehatan. “Jangan – jangan di rumah memakai masker namun dalam perjalanan atau di tempat pelaksanaan sudah tidak memakai masker dan abai protokol kesehatan, seperti saat pendaftaran dan kampanye dilakukan yang ternyata abai jarak jarak, yang berpotensi terjadi penyebaran, ” tutunya.
Belajar dari kejadian yang baru – baru ini, menurut Yenti, harus dipastikan juga siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran – pelanggaran protokol kesehatan. “Mau berapa Kapolda dan Kapolres yang akan dicopot, walaupun bagus dalam pencopotan tersebut dikatakan tidak diskriminasi, namun dalam hal ini harus dipastikan bahwa protokol kesehatan dijalankan,” tandasnya. (*)