Corona Merebak, Peneliti Eijkman Paparkan Beda Virus dan Bakteri
UNPAK - Merebaknya virus corona COVID-19 menimbulkan banyak salah persepsi dan pertanyaan mengenai virus itu dan disamakan dengan bakteri. Peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Frilasita Aisyah Yudhaputri menerangkan bahwa virus berbeda dengan bakteri.
Menurut Sisi—sapana Frilasita— dalam Pelatihan Meliput COVID-19 yang digelar secara online melalui WhatsApp Group, meskipun kedua berbeda tapi gejala sakit yang diakibatkan virus itu mirip. “Jadi kalau ke dokter itu tidak bisa dibedakan antara infeksi virus atau bakteri,” ujar dia Selasa, 17 Maret 2020.
Koordinator Penelitian Emerging Virus Research Unit di Eijkman itu menjelaskan, ada tiga hal yang paling utama untuk membedakannya, yaitu secara ukuran, struktur dan biologi virus dan bakteri itu berbeda. Bakteri adalah makhluk hidup. “Virus itu antara hidup dan mati, kalau ilmuwan menyebutnya seperti itu,” kata Sisi.
Biasanya bakteri memiliki ukuran yang jauh lebih besar dan dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Sedangkan virus ukurannya lebih kecil sehingga harus menggunakan mikroskop yang lebih canggih, mikroskop elektron untuk melihatnya.
Dari segi sifatnya, bakteri bersifat uniselular dan secara biologis memiliki dinding sel ribosom dan dapat bereproduksi sendiri. Sementara virus tidak memiliki sel, dan antara hidup dan mati, serta membutuhkan sel inang untuk mereplikasi. Jadi tidak seperti bakteri, virus itu bersifat parasit tidak bisa bereplikasi sendiri.
“Dan yang paling penting kalau sakit, antibiotik itu hanya dapat membunuh bakteri tapi tidak dapat membunuh virus. Ini banyak yang salah nih, semoga ini dapat mencerahkan ya perbedaan antara virus dan bakteri,” tutur Sisi.
Jadi, Sisi menegaskan, virus itu hanya dapat hidup dalam sel inang, jadi tidak dapat hidup di luar sel. Kunci dari kesuksesan virus sendiri adalah struktur dan hidupnya yang simpel. Karena hanya terdiri dari sedikit material genetik berupa RNA atau DNA, tidak bisa keduanya yang dibungkus dalam kapsul protein.
“Nah kebanyakan virus yang ukuran kecil dalam nanometer ini, ada juga sih yang besar, dia tidak dapat hidup di luar sel inang dalam waktu yang lama,” tuturnya. Dia menambahkan, “jadi dia harus menjadi parasit dan hidup dalam sel tertentu baik di manusia ataupun hewan untuk tetap hidup dan berkembang biak untuk kelangsungan hidup selanjutnya.”
Lulusan Master of Biolomedical Science dari Monash University, Australia itu menambahkan, virus dan bakteri termasuk dalam mikroorganisme, lainnya ada fungi, algae dan protozoa. Sejarah virus berawal pada tahun 1883, seorang ahli mikro biologi A. Mayer melakukan percobaan yang menyemprotkan ekstrasi daun tembakau sakit ke daun yang sehat, hasilnya daun tembakau sehat ikut sakit.
Sepuluh tahun kemudian, Dimitri Ivanovsky pada tahun 1892 menemukan ternyata daun tembakau yang sakit itu bukan disebabkan oleh bakteri karena filter bakterinya lolos ketika diuji di lab. Ivanovsky ternyata menemukan penyebabnya adalah makhluk yang lebih kecil dari bakteri.
Seratus tahun kemudian pada 1987 M.W. Beijerinck menemukan bahwa ternyata penyakit tembakau itu memiliki jasad hidup yang akhirnya dinamakan virus. "Saat itu namanya contagium vivum pertama kalinya frase yang digunakan untuk menggambarkan virus itu sendiri,” tambah Sisi.