"Paradoks Demokrasi Lokal" oleh R. Muhammad Mihradi, S.H.,M.H.
Pahitnya praktik demokrasi di atas terjadi pula di daerah, untuk urusan pilkada saja, kita seperti senandung syair lagu Syahrini: “maju mundur maju mundur…cantik”. Bayangkan, di masa lalu dengan UU Pemda 1974 (UU 5/1974), kepala daerah dicalonkan oleh DPRD, namun Pusat sepenuhnya yang menentukan. Karena dinilai otoriter-sentralistik, di awal reformasi, UU Pemda 1974 diganti. Terbit UU Pemda 1999 (UU 22/1999), DPRD memiliki kewenangan menentukan kepala daerah.
Presiden hanya mengesahkan. Kebijakan legal demikian pun kemudian mendapat kritik publik yang luas. Maka karena dinilai masih kurang demokratis, terbit UU Pemda 2004 (UU 32/2004). Pemilihan kepala daerah langsung diserahkan pada rakyat. Tragisnya, di akhir tahun 2014, disahkan UU Pilkada 2014 (UU 22/2014) yang membalik logika demokrasi yang disepakati selama ini.
Pilkada dikembalikan lagi ke DPRD. Inilah yang kemudian menjadi motivasi terbit Perppu Pilkada (Perppu 1/2014) sehingga pilkada kembali ke pangkuan rakyat.
Pil pahit perubahan perlu ditelan. Butuh waktu untuk dirasakan khasiatnya. Demokrasi lokal memiliki prospek lebih baik. Asalkan seluruh dosis, prasyarat dan kepatuhan pada prinsip dan asasnya menjadi sesuatu yang dijalankan. Insya Allah
Bacaan menarik ini, selengkapnya bisa unduh file di bawah ini :