pandemi semacam percepatan proses kematian geografi yang diambil alih oleh kolonialisasi imagologi yang sudah mulai berurat dan berakar akibat pesatnya teknologi informasi.
R. Muhammad Mihradi
UNPAK – Pandemi Covid-19 menjungkirbalikan logika dan modus hidup bersama. Yang tadinya masih merawat interaksi fisik, kini menelantarkannya. Pandemi mempercepat penelantaran interaksi fisik yang sebelumnya telah dilakukan oleh perkembangan teknologi informasi.
Bukan negara yang membatasi, tapi virus Corona yang sulit dilihat dengan mata. Jaga jarak; Di rumah saja; Gunakan masker; menjadi seperti hymne. Resep mujarab bertahan di era pandemi.
Slavoj Zizek dalam buku paling anyar, Pandemic! Covid-19 Shakes the World (2020), melukiskan derita kita yang diterjang tiga krisis: medis (epidemi itu sendiri), ekonomi (yang terpukul keras apapun dampak epidemi) dan psikologis.
Koordinasi dasar kehidupan sehari-hari jutaan orang terpecah belah. Dari terbang untuk liburan sampai kontak tubuh sederhana pun seperti impian mahal. Sukar digapai.
Apalagi kapitalisme yang ratusan tahun terbiasa hidup dalam akumulasi modal. Kini goyang.
Tidak hanya itu. Bahkan, bagi sebagian, mimpi mengerikan bukan kena pandemi. Namun hilangnya penghasilan dan melonjaknya kemiskinan.
Slavoj Zizek menganjurkan pelbagai hal menghadapi situasi pandemi. Kata kuncinya adalah solidaritas dan kebersamaan. Pemerintah harus efektif mengorganisir solidaritas kerjasama internasional-nasional serta penguatan layanan. Tidak mudah memang!
Pancasila
Bagi penulis, pandemi semacam percepatan proses kematian geografi yang diambil alih oleh kolonialisasi imagologi yang sudah mulai berurat dan berakar akibat pesatnya teknologi informasi.
Yasraf Amir Piling dalam buku Dunia Yang Dilipat (2004) sudah mengingatkan, akibat globalisasi, post-modern dan merambahnya kota digital---jauh sebelum pandemi—ada beberapa gejala yang menerpa manusia.
Diantaranya, manusia semakin homo economicus. Rakus. Relasi sosial dinilai semata dengan uang. Waktu dan ruang juga dimaknai uang.
Kemudian, manusia semakin individualis. Kolektivisme publik digerogoti.
Manusia juga semakin digital. Pertemuan fisik semakin menipis diganti interaksi digital. Kondisi ini diperparah dan dipercepat dengan pandemi. Virus Covid-19 memaksa intensitas fisik dihindari.
Satu sama lain mengalami paranoid. Jebakan penularan tidak mengenai usia, tempat dan status sosial. Pandemi menerpa siapa pun dan kapan pun.
Dalam konteks ini, maka perbincangan membumikan Pancasila menjadi penting. Sebab, Pancasila adalah warisan jenius pendiri bangsa yang mendasarkan lima sila sebagai nilai perekat untuk memastikan ekosistem keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif. Antara pemupukan kekayaan dan kesediaan berbagi. Antara yang fisik dan spiritual.
Ilustrasi(KOMPAS)
Menyimpulkan pemikiran Soekarno, Yudi Latif menulis (Negara Paripurna, 2017), Pancasila adalah “dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya”.
Jadi, seharusnya Pancasila sebagai nilai, falsafah, ideologi dan cita hukum bangsa dapat dikapitalisasi menjadi modal sosial besar menghadapi pandemi Covid-19.
Memang, letak persoalannya, bangsa ini sudah agak terbata-bata dan gagap dengan Pancasila. Sekadar mengingat lima sila-pun kadang ada frasa yang terlupakan.
Jika Pancasila dijadikan kekuatan jiwa. Maka, kebersamaan dan solidaritas publik melawan pandemi bisa terkonsolidasikan.
Sebab dalam sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan hingga Keadilan Sosial, semua merepresentasikan eksistensi otentik manusia Indonesia. Ini yang kerap dilupakan.
Ekologi hukum
Pancasila sebagai cita hukum tertinggi dipastikan, seharusnya demikian, meresepsi pada sistem hukum Indonesia sebagai suatu ekologi.
Artinya, baik aturan, aparatur maupun budaya masyarakat yang terkait dengan hukum harus meniscayakan Pancasila sebagai hakikat yang melembaga.
Persoalannya, kita sudah agak lama longsor dan menjauh dari Pancasila. Kerap, kita bingung hendak memulai dari mana. Lalu, lahirlah inisiasi Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila. Lazim disingkat RUU HIP.
Pandangan penulis, sebaiknya RUU HIP ditimbang ulang.
Ilustrasi hukum(Shutterstock.com)
Pertama, letak persoalanya bukan Pancasila tidak memiliki legalitas. Pancasila diadopsi di Pembukaan UUD 1945.
Disebut juga pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Termasuk dirawat melalui pelbagai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian undang-undang yang inheren di dalamnya menjadikan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian.
Letak soalnya justru pada implementasi. Jadi, sesungguhnya dalam sistem hukum Indonesia, seluruh peraturan perundang-undangan wajib menjabarkan sila-sila pada Pancasila.
Kedua, yang mendesak bagi stamina bangsa ini adalah bagaimana memastikan menubuhnya Pancasila dalam perilaku sosial seluruh komponen bangsa Indonesia.
Jika manusia Pancasila sudah melembaga maka mengalir dalam darahnya kebencian pada korupsi, berketuhanan sesuai agama dan keyakinannya, anti pada ketidakadilan, tidak diskriminasi, penghormatan hak asasi manusia dan menghargai kemajemukan.
Hal ini wajib menjadi identitas niscaya, baik pada penyelenggara negara maupun warganya.
Era new normal
Penulis memahami, saat ini pemerintah mengalami dilema sangat dahsyat. Keduanya ancamannya sama: kematian. Sebab, pandemi mengakibatkan kontraksi dan krisis hebat di dalam ekonomi.
Prediksi Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau minus 2,8 persen hingga 3,9 persen akibat pandemi covid-19.
Jika pandemi tidak lekas usai, maka Kamar Dagang dan Industri (KADIN) memprediksi angka pengangguran bisa mencapai 10 juta orang. Maka, kemiskinan dan pengangguran menyebabkan kematian ekonomi.
Di sisi lain, bahaya pandemi Covid-19 khususnya penularannya juga mengancam jiwa. Apalagi bagi lanjut usia (lansia) maupun penderita penyakit tertentu seperti hipertensi dan jantung misalnya. Semua membawa ancaman kematian.
Di tengah kegalauan situasi demikian, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK. 01.07/Menkes/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 Di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi.
Kepmenkes di atas menjadi landasan untuk menghadirkan gerak perekonomian dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Hal ini dalam pelaksanaanya tidak mudah. Sebab, terdapat situasi di mana publik terbelah. Ada yang patuh. Namun, ada pula yang mengidap krisis kepercayaan pada pemerintah.
Apalagi diikuti wabah hoaks. Informasi yang miskin akurasi. Belum lagi pelbagai dugaan teori konspirasi bertebaran di ruang sosial yang tidak benar.
Petugas pemadam kebakaran dan penyelamatan DKI Jakarta menyemprotkan disinfektan di Masjid Istiqlal Jakarta, Rabu (3/6/2020). Penyemprotan tersebut sebagai upaya mencegah penyebaran virus corona (COVID-19) di rumah ibadah jika nantinya kembali dibuka untuk umum saat pemberlakuan tatanan hidup normal baru (new normal).(ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)
Bagi penulis, fenomena di atas harus dijadikan momentum: ini saatnya menunjukkan bahwa kita pewaris sah generasi besar di masa lalu. Sejarah menunjukkan kerajaan di nusantara menguasai jagat global.
Kita memiliki tokoh besar yang mendunia saat mendirikan republik ini. Maka, sudah sewajarnya ini digunakan sebagai instrumen penetrasi agar kita bangkit solidaritasnya.
Menghentikan perdebatan tidak perlu. Berjalan bersama pemerintah untuk membangun strategi dan merealisasikan pelbagai upaya mengatasi pandemi Covid-19.
Demikian pula pada pemerintah. Sebagai pengemban amanah publik, pemerintah harus meningkatkan akselerasi kepekaan terhadap kebutuhan publik.
Mengoptimalkan informasi akurat soal penanganan pandemi, seperti bansos. Satu irama pusat dan daerah sehingga tidak terjadi disparitas informasi dan kebijakan.
Termasuk pula memastikan ruang ruang publik untuk mengkritik dan berpartisipasi terjamin keberadaanya, sepanjang sesuai hukum.
Selain itu, pelbagai kemungkinan potensi kriminalisasi harus dihindari. Demikian pula penghakiman sepihak. Sebab, kita berkomitmen untuk menjaga demokrasi yang berlandaskan Pancasila.
Pada akhirnya, banyak pelajaran penting dari pandemi. Penulis melihat tumbuh kembang kekuatan masyarakat sipil untuk berempati begitu besar. Jiwa berbagi mengental. Sikap kegotongroyongan menguat. Kesadaran pandemi Covid-19 harus dihadapi bersama.
Kondisi ini sebenarnya cerminan direalisasikan nilai-nilai Pancasila. Hal ini harus terus dikapitalisasi dan dikuatkan.
Semoga energi bangsa ini dapat fokus merealisasikan nilai Pancasila dibandingkan meregulasikannya (karena sudah cukup kuat aspek hukumnya) dalam ekologi hukum menghadapi new normal.