Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya.
R. Muhammad Mihradi
UNPAK - Presiden Joko Widodo (Jokowi) masygul. Indonesia minim dihampiri investasi. Padahal investasi pelumas ekonomi. Apalagi di tengah abad resesi dan tantangan ekonomi digital.
Prediksi Jokowi, hukum diduga membuat investasi tidak menarik. Regulasi bertumpuk. Birokrasi berbelit. Waktu mengurus perizinan mengular.
Obesitas regulasi menimbulkan dampak serius. Pertama, lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB) dan pertumbuhan sektor swasta. Misalkan saja di bidang kemudahan berusaha EODB yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara.
Dalam laporan di tahun 2019 ini, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96.
Dari 10 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang. Yaitu dealing with construction permit, protecting minority investors, trading across borders, enforcing contracts.
Kedua, terbukanya peluang korupsi. Menurut KPK, korupsi perizinan masih menjadi lahan empuk korupsi pejabat daerah. Dari 105 kepala daerah yang kasusnya tengah ditangani KPK, 60 orang di antaranya terlilit kasus suap, sementara sisanya terkait kasus yang merugikan keuangan negara, gratifikasi, hingga pemerasan.
Secara konseptual-definisi, Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya. Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus : “relating to or dealing with numerous object or item at once ; inculding many thing or having varius purposes”, di mana artinya berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan.
Bila digandeng dengan kata Law maka dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua. (Firman Freaddy Busroh, Jurnal Arena Hukum, th.2017, hlm.242). Dengan kata lain, kehadiran asas Omnibus Law dimaksudkan untuk memberikan dasar bagi praktik membentuk satu undang-undang tertentu yang mencabut berbagai undang-undang terkait atau substansinya berbeda.
Semacam membuat undang-undang payung untuk lebih efisien. Atau lebih sederhananya, menurut Paulus Aluk (2019),dapat dikatakan omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum (umbrella act).
Dan ketika peraturan itu diundangkan berkonsekuensi mencabut beberapa aturan hasil penggabungan dan substansinya selanjutnya dinyatakan tidak berlaku, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.
Jadi Omnibus Law hendak menjawab dua hal sekaligus yaitu efisiensi hukum dan harmonisasi hukum. Di berbagai negara khususnya common law lazim menggunakan omnibus law seperti Amerika Serikat, Kanada, Filipina dan Australia. Indonesia tergolong baru mengenal ini.
Meski dalam hal terbatas pernah dilakukan seperti pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mencabut tiga undang-undang sekaligus yaitu: UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR,DPD dan DPRD.
Tantangan
Rencana Omnibus Law di Indonesia di antaranya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan. Bahkan, Pemerintah bersama Kadin telah membentuk Satgas Omnibus Law. Tentu terdapat tantangan perlu dipertimbangkan.
Pertama, idealnya, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan perlu diamandemen agar asas atau konsep Omnibus Law mendapat penguatan legal dan keseragaman pola. Termasuk memastikan apakah di level daerah, perda-perda yang ada dapat menggunakan konsep Omnibus Law seperti di pusat.
Kedua, bila merujuk pada pemikiran Mochtar Kusumaatmadja yang melihat hukum tidak sekedar kaidah dan asas, melainkan pula termasuk lembaga dan proses mewujudkan hukum di dalam kenyataan, maka pertimbangan penguatan kesadaran dan budaya hukum di masyarakat menjadi niscaya. Sebab, tanpa itu, hukum hanya tinggal teks. Kehilangan konteks implementasinya.
Ketiga, perlu difikirkan harmonisasi dengan kebijakan daerah. Sebab, Omnibus Law di level undang-undang dapat mencabut pula perda. Namun, perlu telaah mendalam agar tidak berkesan mereduksi otonomi. Atau malah menuju sentralisasi kekuasaan yang bertolak belakang dengan visi reformasi.
Keempat, reformasi aturan melalui Omnibus Law hanya salah satu strategi agar ramah investasi. Perlu disertai penegakan hukum yang kuat agar investor merasa nyaman karena kepastian hukum menjadi niscaya, tidak saja aturan namun kompatibelnya norma dengan pelaksanaan.
Penulis, adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta.
Penulis: R. Muhammad Mihradi Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan