Omnibus Law Di Pusat dan Daerah, Suatu Keniscayaan
Foto: Dr Hendro Sasongko Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pakuan (FEUP)
UNPAK - Rencana pembentukan Omnibus Law (OL) tentu karena pertimbangan berbagai aspek, termasuk hukum dan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi, kebutuhan OL, terkait dengan salah satu pondasi utama pertumbuhan ekonomi kita yaitu investasi. Ada 2 hal yang perlu dipahami.
Pertama, kita sering dengar bahwa hambatan pertumbuhan investasi terbesar kita adalah tumpang tindihnya regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Harus diakui, Pemerintah telah mampu memperbaiki beberapa hambatan investasi seperti tersedianya akses transportasi (jalan tol), perbaikan dwelling time, dan waktu pengurusan izin, namun tetap dibutuhkan perbaikan pada masalah utamanya, yaitu tumpang tindih regulasi. Oleh sebab itu simplifikasi regulasi menjadi satu keharusan agar menarik minat investor.
Kedua, investasi sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi kita, masih terjerat dalam investasi portofolio, yang rentan terhadap dinamika ekonomi dan politik global. Jika investasi sektor riil (jangka panjang) mampu menjadi determinan pembangunan ekonomi, maka diharapkan struktur ekonomi negara kita akan lebih stabil dan kuat, sehingga dapat dihindari solusi solusi jangka pendek melalui instrumen moneter dan fiskal yang sering dilakukan selama ini seperti perubahan suku bunga acuan dan/atau tarif pajak.
Oleh sebab itu, walaupun timbul polemik dan bahkan terjadi unjuk rasa, tetap penerbitan OL menjadi keniscayaan karena sangat strategis dalam koridor pembangunan jangka panjang.
Hal yang perlu dicermati adalah, bagaimana OL tetap harus mengandung filosofi yang berbasis keadilan dan keberpihakan pada ekonomi kerakyatan sebagaimana amanah yang digariskan oleh Dasar Negara dan UUD 1945, termasuk yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan kebutuhan pokok rakyat, sehingga prinsip kemandirian, ketahanan dan kedaulatan tetap harus dijaga.
Isu yg berkembang sampai saat ini adalah bahwa OL hanya mengakomodasi pihak pihak tertentu (misal: pengusaha), sementara aspirasi buruh atau isu isu lingkungan relatif terpinggirkan. Hal hal inilah yang wajib di-rebalancing oleh Pemerintah dan Legislatif.
Mengingat pemberlakuan OL harus melalui proses sosial politik yang cukup panjang, maka dibutuhkan kesadaran dan tanggungjawab bersama dari seluruh pemangku kepentingan bangsa ini, termasuk pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Harapan untuk pemberlakuan OL dalam perspektif ekonomi ini adalah berkembangnya investasi sektor riil yang akan mampu menyerap tenaga kerja dari berbagai strata pendidikan dan kompetensi.
Sinergi dengan pembangunan infrastruktur yang menciptakan linkage antar sentra sentra industri hulu dan hilir, akan mempermudah akses distribusi dan penetrasi pasar (termasuk skala global). Sinergi ini diharapkan mampu merealisasi target pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan Pemerintah.
Sebagai catatan, OL juga harus menyentuh aspek aspek yang terkait dengan disrupsi teknologi informasi, namun sekali lagi, perlu diperhatikan bagaimana kita tetap mampu menjaga jatidiri bangsa di tengah perlibasan disrupsi dan infiltrasi global dari sektor teknologi informasi.
Harus diakui, pertumbuhan sektor ini cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan diestimasi akan terus berlanjut di tahun tahun mendatang.