Penyerahan Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh pemerintah ke DPR RI di Jakarta, Rabu (12/2/2020). (KOMPAS.COM/MUTIA FAUZIA)
Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya.
R. Muhammad Mihradi
UNPAK - Ruang publik dua bulan terakhir ini bising soal Omnibus Law. Seperti mantra sakti: digosipkan di warung kopi. Jadi tren diskusi kampus-kampus. Tentu menyelinap pula di sela-sela Gedung Parlemen Senayan.
Pro-kontra menjadi risiko sebab pilihan reformasi adalah demokrasi.
Salah satu yang paling kontroversial di publik adalah RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Kenapa kontroversial?
Pertama, puluhan undang-undang direvisi pada pasal-pasal tertentu.
Kedua, polemiknya beragam mulai soal buruh, ekologi sampai relasi pusat dan daerah.
Ketiga, dugaan implikasi yang serius ke pelbagai arah termasuk pada dugaan potensi ancaman demokrasi dan otonomi daerah.
Gagasan Omnibus Law
Apa itu Omnibus Law?
Dalam perspektif Guru Besar FHUI, Maria Farida Indrati, omnibus (latin) bermakna untuk semua atau untuk segalanya. Tentunya, istilah omnibus law bermakna hukum untuk semua atau segalanya.
Bagi Maria, dari beragam rumusan pengertian omnibus, ia memilih pengertian “satu UU (baru) yang mengandung atau mengatur berbagai macam substansi dan berbagai macam subyek untuk langkah penyederhanaan dari beberapa UU yang masih berlaku”. (Maria Farida, Opini,Kompas 4/01/2020: 6).
Omnibus Law itu sendiri hal lazim di negara-negara common law dan kurang dikenal di negara bersistem civil law seperti Indonesia.
Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, tidak ada norma eksplisit yang dapat ditafsirkan dan ditemukenali sebagai model omnibus law.
Awal gagasan omnibus law sebenarnya dari kekecewaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Indonesia minim dihampiri investasi. Padahal investasi pelumas ekonomi. Apalagi di era ekonomi digital.
Prediksi Jokowi, hukum diduga membuat investasi tidak menarik. Regulasi bertumpuk. Birokrasi berbelit. Waktu mengurus perizinan mengular. Obesitas regulasi menimbulkan dampak serius. Implikasinya serius.
Pertama, lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB) dan pertumbuhan sektor swasta.
Misalkan saja di bidang kemudahan berusaha EODB yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara.
Presiden Joko Widodo berpidato dalam acara pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2019). Presiden menyampaikan hal-hal yang akan pemerintah kerjakan dalam lima tahun ke depan yaitu pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi serta transformasi ekonomi. (ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)
Dalam laporan di tahun 2019 ini, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96.
Dari 10 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang, yaitu dealing with construction permit, protecting minority investors, trading across borders, enforcing contracts.
Kedua, terbukanya peluang korupsi. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi perizinan masih menjadi lahan empuk korupsi pejabat daerah.
Dari 105 kepala daerah yang kasusnya tengah ditangani KPK, 60 orang di antaranya terlilit kasus suap, sementara sisanya terkait kasus yang merugikan keuangan negara, gratifikasi, hingga pemerasan.
Masalah perizinan dianggap kerap menjadi batu sandungan para kepala daerah.
Dari dua hal di atas, nampaknya Presiden Jokowi percaya, hanya RUU Omnibus Law yang bisa memangkas persoalan obesitas regulasi dan perizinan.
Keyakinan Presiden dapat mudah dipahami penulis. Sebab, pasca-reformasi, setiap lembaga baik pusat maupun daerah dapat memproduksi dengan mudah regulasi.
Selain itu, dengan model pilkada langsung yang berbiaya tinggi, obral perizinan bukan lagi rahasia umum. Terjadi politik transaksional di daerah oleh oknum kepala daerah sebagaimana diafirmasi KPK di atas.
Maka, pilihan pragmatis dan rasional dari Presiden Jokowi dalam konteks ini adalah menderegulasi perizinan dan peraturan melalui model RUU Omnibus Law.
Kompleksitas Omnibus Law
Persoalannya, gagasan Omnibus Law seperti bola liar karena tidak ditetapkan dulu konsep batas-batasnya.
Misalnya, apakah kita masih komitmen dengan demokrasi dan otonomi daerah yang diperjuangkan berdarah-darah oleh pahlawan reformasi.
Sebab tanpa itu, maka potensi Omnibus Law merusak demokrasi dan otonomi daerah selalu terbuka.
Dari draf RUU Omnibus Law, khususnya pada pasal-pasalnya, indikasi dimaksud menjadi begitu terbuka. Seperti Pasal 62 RUU Cipta Kerja yang mengatur perubahan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal itu menyatakan, perizinan berusaha untuk pendirian semua fasilitas layanan kesehatan merupakan wewenang pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak lagi memiliki.
Jadi, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sekalipun, pusat yang memberikan izinnya. Maka, apakah ini berpeluang mencederai konsep otonomi daerah?
Selain itu model perizinan yang diubah menjadi model perizinan berdasarkan kriteria kegiatan berusaha dengan risiko rendah (yang cukup pemberian Nomor Induk), menengah (selain Nomor Induk Berusaha juga dilengkapi Sertifikat Standar), dan tinggi (menggunakan Izin selain Nomor Induk Berusaha) (Pasal 9-11).
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi berdemonstrasi menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Kota Malang, Senin (24/2/2020). (KOMPAS.COM/ANDI HARTIK)
Dalam konteks ini, yang perlu dipastikan adalah kecermatan menentukan risiko. Sebab, ini terkait jaminan lingkungan hidup dan keberlanjutan masa depan. Jika demi investasi, dimensi ekologi dikesampingkan, bukan mustahil bangsa ini akan punah.
Belum lagi soal kontroversi Peraturan Pemerintah (PP) yang bisa menggeser Undang-Undang (UU) (Pasal 170) yang mengundang polemik antar Menteri baik Menko Perekonomian maupun Menko Polhukam dan Menhukam.
Polemik antar-menteri harusnya tabu dalam kebijakan yang sudah disampaikan ke publik.
Apalagi dari segi hukum sudah terang benderang, Indonesia menganut hierarki hukum sebagaimana dianut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga sesuatu yang harusnya mustahil: PP mengalahkan UU.
Bola di tangan DPR
Kini publik berharap cemas. Bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyikapi karut marut RUU Omnibus Law.
Publik menghendaki, DPR sebagai wakil rakyat yang otentik, (bukan kaleng-kaleng), harus dapat meningkatkan optimalisasi partisipasi publik. Sebab, dengan partisipasi publik, derajat legitimasi undang-undang dapat dijamin.
Ada buku lama dari Arief Budiman berjudul Teori Negara (Gramedia, 1996) yang dapat menjadi sinyal untuk mengukur apakah demokrasi redup atau tidak.
Menurut Arief, perlu dikritisi doktrin netralitas negara. Sebab, menurut teori dari Ralph Milliband, jika tidak hati-hati, negara menjadi sekadar alat melayani kelas dominan, bukan kepentingan publik. Kelas dominan bekerja mempengaruhi melalui hubungan pribadi antara kelas dominan dengan pejabat negara (hlm.70). Ini pasti harus dihindari.
Dalam konteks demikian, maka layak diperdebatkan soal tudingan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang menyatakan RUU Omnibus Cipta Kerja tidak melibatkan buruh. Hanya pengusaha.
DPR harus menjaga agar keseimbangan para pihak terawat. Kalau perlu, DPR mengoreksi apakah pemerintah dinilai atau diduga tidak fair pada semua pihak.
Pada DPR digantungkan amanah besar untuk memastikan prinsip negara hukum, demokrasi dan otonomi daerah tidak dicabut nyawanya.
Sebab, ini perjuangan luar biasa. Publik harus mengawal agar DPR bisa istiqamah menjalani takdir untuk “pasang badan” pada pemilihnya.
Penulis: Raden Muhammad Mihradi, S.H., M.H.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan. Staff Ahli Komite III DPD RI