Neraca (atau Neraka?) Demokrasi oleh R. Muhammad Mihradi, S.H.,M.H
Share berita:
UNPAK - Berbagai literatur, baik klasik maupun modern, membincang demokrasi selalu ambigu. Hampir setiap ahli atau pakar, bahkan politisi, merumuskan dan mengontekskan demokrasi dengan pelbagai persepsi.
Satu sama lain bisa jadi bias atau sekadar menyumbang potongan wajah demokrasi. Mirip puzzle yang harus disusun utuh. Tidak bisa terpenggal. Perdebatan demokrasi menjadi “hangat” dan “kontekstual” ketika berjuta mata penduduk Indonesia menatap tajam di layar televisi persidangan sengketa perselisihan hasil suara di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tudingan pemilu harus diulang atau tidak? Terjadi TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) kecurangan atau tidak? Semua berhamburan dengan perdebatan argumentatif, agitatif dan penuh kelokan analisis. Tidak jarang, sebaran ayat suci mengemuka di persidangan. Siapa pun yang memenangkan persengketaan di MK, bagi publik, nyaris sukar disangkal ada persoalan pada demokrasi prosedural kita. Bahkan, saksi ahli Prof. Eddy O OS Hiariej sudah menyinggung perlunya untuk dikaji sebagai hukum yang akan datang (ius constituendum) penyempurnaan UU Pemilu 2017.
Secara normatif, Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 tegas menempatkan Indonesia dalam konstelasi negara hukum sekaligus negara demokrasi. Maka, terdapat sejumlah asas, nilai dan norma wajib dianut dalam ikatan demokrasi yang saling berkelindan dengan hukumnya itu sendiri. Menjadi menarik saat demokrasi dalam posisi anomali, mudah dipastikan, hukumnya mengidap penyakit serupa. Dengan demikian, telaah mendalam demokrasi menjadi niscaya sehingga dapat berkorelasi pada hukum yang diharapkan. Tulisan penulis saat ini tidak hendak mengomentari atau menguliti proses-proses sidang di MK. Namun, hendak menyoal yang lebih substansial, bagaimana sisi wajah demokrasi substansial kita yang otentik pasca reformasi.
Dapatkah demokrasi kita dineraca untuk memperlihatkan bobotnya secara konseptual. Atau jangan-jangan sudah menjadi neraka Demokrasi Konsensus Saat ruang publik selama pra dan pasca pemilu 2019 dipenuhi sampah tudingan “cebong” dan “kampret” di pelbagai media sosial. Maka, tanpa sadar, gugatan eksistensi demokrasi mulai mengemuka. Premisnya, bukankah kalau kita negara demokrasi, tradisi kemajemukan dan pluralisme adalah niscaya.
Tidak seharusnya kebencian merebak. Hanya karena perbedaan pilihan. Di dalam konteks demikian, perlu dilacak akar sesungguhnya larutan demokrasi empiris kita. Dalam perspektif penulis, demokrasi yang kita warisi—salah satunya--dari tradisi di Yunani sekitar 2500 tahun silam memang mengidap penyakit paradoks serius sejak lama.
Donny Gahral Adian (Teori Militansi, 2011) sempat menyinggung hal tersebut. Baginya, kata demokrasi saja sudah paradoks. Demos yang artinya rakyat. Kratein yang bermakna kekuasaan. Satu sama lain sudah tidak kompatibel. Sebab, demos menyiratkan kesetaraan dan kebebasan. Sedangkan kratein menampilkan sub-ordinasi dan hirarki. Sesuatu yang menyiratkan pertentangan diametral. Lalu, aib ini diselesaikan dengan rumusan “demos diperintah oleh dirinya sendiri (self government) sehingga paradoks sirna”. Sayangnya, ini saja tidak cukup. Karena atas dasar geografis dan populasi, mustahil rakyat memerintah langsung dirinya.
Perlu representasi melalui pemilu dengan hadirnya wakil-wakil rakyat yang duduk di pemerintahan. Hal ini menimbulkan problem baru soal ketersambungan apa yang dipikirkan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya. Narasi kompleks di atas lalu tersambung serupa di Indonesia. Ada gejala, selain persoalan representasi, demokrasi kita dirajut atas dasar semangat harmoni dan konsensus
Perbedaan nyaris diberangus---yang nampak vulgar di masa Orde Baru. Pemilu---di masa itu---penuh dengan modifikasi sehingga Golkar dan Soeharto nyaris abadi dalam kemenangan absolut pemilu dimaksud. Tentu bukan dari hasil fair. Namun melalui rekayasa canggih dari mulai ketidaknetralan birokrasi, depolitisasi maupun lumpuhnya panitia penyelenggara pemilu ketika dihadapkan prinsip jujur dan adil. Lalu, secara doktriner---mungkin serampangan---dilekatkan bahwa itu model demokrasi Pancasila. Yang prinsipnya musyawarah untuk mufakat. Namun menihilkan proses yang diabdikan pada penghormatan kemajemukan dan pluralisme. Cerita Orde Baru (Orba) di atas tentu tidak mudah hapus pasca reformasi. Bahkan, tidak sedikit yang menuding atau menduga hendak direplikasi di masa reformasi. Ada nilai-nilai traumatik mengendap di alam bawah sadar. Seperti tradisi demokrasi konsensus.
Demokrasi yang menghendaki harmoni dan mufakat segalanya. Serta abai—atau setidaknya---tidak serius memberikan ruang pada perbedaan pemikiran dan aspirasi politik. Partai-partai politik pasca reformasi nyaris tidak ada diferensiasi satu sama lain. Jualannya normatif. Koalisinya pun berkesan lebih pada pembagian alokasi kekuasaan di kabinet. Ideologi menjadi barang langka diperbincangkan. Kondisi demikian seperti merawat “api dalam sekam”. Setiap saat dapat meledak. Diskursus soal agama misalnya, hendak dinetralkan dari negara (risiko demokrasi konsensus). Sebab, doktrin masyarakat post-sekuler abad ini adalah wacana agama dikesampingkan dari urusan di ruang publik. Agama dinilai ranah privat. Faktanya, menurut filsuf Jurgen Habermas, agama malah semakin bertahan dan mendesakkan aspirasinya dalam ruang publik. Tidak jarang, menurut Habermas (Gusti AB Menoh, Agama Dalam Ruang Publik, 2015:211), desakan kelompok kelompok religius seringkali mengancam keadaban publik karena disampaikan salah satunya melalui kekerasan atau pemaksaan kehendak.
Ketika agama tidak diberikan saluran di ruang publik. Maka, yang hadir adalah ancaman fundamentalisme agama di satu sisi dan di sisi lain fundamentalisme pasar yang memanfaatkan celah kosong absennya ideologi. Hal ini mendesak dikoreksi. Demokrasi Disensus Paradigma demokrasi konsensus dengan berbagai implikasi dan doktrinnya ternyata tidak cukup menjawab tantangan zaman. Doktrin netralitas negara---misalnya---(sebagai bagian dari demokrasi konsensus) menghadirkan kekusutan ketika negara sebagai praktik politik wajib hadir. Sementara, kehadirannya membutuhkan landasan publik yang mengandaikan tatanan nilai nilai tertentu. Sehingga mau tak mau mengandaikan preferensi pilihan nilai yang mengkhianati konsep netralitas negara itu sendiri.
Untuk kejumudan itu, filsuf John Rawls menawarkan resep keadilan bersifat politik, yang memfokuskan pada mekanisme politik konsensual sehingga sifatnya prosedural. Ini dibasiskan pada gagasan “keadilan sebagai kewajaran” (justice as fairness) melalui konsensus tumpang tindih (overlapping consensus) atas pluralitas doktriner di masyarakat. Keadilan sebagai kewajaran bagi Rawls berbentuk pluralisme nalar. Meski kemudian digugat, karena menentukan nalar atau tidak nalar dipastikan didasarkan pada kriteria tatanan nilai tertentu. Yang berarti, sekali lagi, negara menjadi tidak netral. Di dalam kepengapan demikian, tawaran politik demokrasi disensus yang digagas oleh berbagai pakar seperti filsuf Mouffe dan Laclau menjadi pantas ditimbang. Pertama, demokrasi disensus tidak memaksa harmoni apalagi konsensus. Melainkan merawat perbedaan.
Tidak melihat yang berbeda sebagai lawan yang harus dimusnahkan. Kawan dan lawan pun didekonstruksi bukan sebagai sesuatu yang absolut harus dimatikan. Melainkan diposisikan diametral kawan sekaligus seteru. Sehingga dinamika kesitegangan kawan versus seteru dapat didulang secara kreatif dan optimal untuk memperbaiki sisi sisi lemah demokrasi. Kedua, demokrasi disensus menurut Budiarto Danujaya (Demokrasi Disensus, 2012) menempatkan “politik sebagai ajang perebutan artikulatif manusia konkret yang hidup dan nyata”. Tidak menihilkan itu. Maka, keberadaan oposisi bukan hanya konsekuensi relasional yang wajar melainkan antagonisme laten pada seteru atau lawan politik yang wajar. Dengan begitu demokrasi dapat meremajakan gagasan manusia maupun lembaganya.
Tradisi sepakat untuk tidak sepakat seakan menjadi wahana untuk eksplorasi perbedaan atau kemajemukan. Tidak nyinyir. Atau melekatkan istilah “cebong” dan “kampret” dalam politik bunuh diri saling menyakiti. Tentu, demokrasi disensus yang memberikan ruang berbeda wajib dikoridori oleh hukum yang diproduksi melalui proses fundamental partisipasi demokrasi genuine. Sehingga dapat menghindari dusta di antara kita.
Pada akhirnya, demokrasi disensus memang mengharapkan energi besar untuk berbesar hati melihat perbedaan pada tingkat paling radikal sekalipun. Menimba kearifan dari kemajemukan. Bahkan, dari oposisi politik sekalipun. Tidak hitam putih. Mentransformasi keindahan untuk berbagi gagasan, pesan dan pemikiran meski kerap tidak satu frekuensi. Sehingga, potensi neraka demokrasi dapat diubah menjadi surga demokrasi. Dengan begitu, amanah Pembukaan UUD NRI 1945 yang menghendaki merdeka, bersatu, adil dan makmur menjadi kosa kata bernegara faktual. Bukan manifestasi keinginan tanpa kenyataan. Semoga.
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2019/06/24/09495111/neraca-atau-neraka-demokrasi?page=all
Neraca (atau Neraka?) Demokrasi oleh R. Muhammad Mihradi, S.H.,M.H