Membangun Kampus Merdeka Bebas dari Kekerasan Seksual
Webinar Pusat Unggulan Gender, Perempuan, dan Anak FISIB Universitas Pakuan Membangun Kampus Merdeka Bebas dari Kekerasan Seksual
UNPAK — Dalam rangka menyosialisasikan gerakan antikekerasan seksual di kampus, Pusat Unggulan Gender, Perempuan, dan Anak, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan (FISIB Unpak) menggelar webinar bertema “Membangun Kampus Merdeka, Bebas dari Kekerasan Seksual” pada Sabtu, 14 Mei 2022. Webinar yang berlangsung mulai pukul 09.00 – 12.00 WIB ini menghadirkan dua narasumber. Pertama, Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana Girsang, dan kedua, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah. Acara ini dihadiri lebih dari 80 peserta yang berasal dari internal Unpak maupun dari luar Unpak.
Dalam sambutannya, Wakil Dekan 2 Unpak Sasongko S. Putro menyampaikan, webinar tersebut bertujuan untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada mahasiswa UNPAK mengenai Permendikbudristek No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini diharapkan menjadi solusi untuk mengatasi tindak kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Oleh karena itu, menurut Sasongko, diperlukan sosialisasi, diskusi, dan pelatihan untuk memberikan pemahaman dan keterampilan kepada mahasiswa, dosen, dan staf akademik di kampus agar terhindar dari perilaku kekerasan seksual. “Webinar ini diharapkan akan mendiskusikan dan ada tindak lanjut berupa pelatihan untuk penanganan korban dan penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual,” ujar Sasongko.
Sebagai narasumber pertama, Chatarina menjelaskan, di awal kemunculannya peraturan menteri (permen) ini sempat menimbulkan pro dan kontra karena ada perbedaan persepsi di sebagian masyarakat. Peraturan ini sempat diajukan oleh sekelompok masyarakat dari Padang, Sumatera Barat, ke Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan Judicial Review (Pengujian Yudisial). Hasilnya, MA menolak permohonan tersebut dan menganggap serta memutuskan Permendikbudristek No. 30/2021 penyusunannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Chatarina menegaskan, segala bentuk kekerasan seksual yang dilakukan dengan persetujuan maupun tanpa persetujuan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku di Indonesia. Lahirnya Permendikbudristek No. 30/2021 ini diharapkan menjadi payung hukum bagi para korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi (PT) yang menginginkan keadilan untuk dirinya.
“Permen No. 30/2021 merupakan intervensi negara karena saat ini kita dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Kasus-kasus yang terungkap dan terlapor sejauh ini lebih sedikit daripada kejadian yang sebenarnya. Oleh karena itu perlu ada intervensi dari negara mengingat bahwa korbannya sebagian besar adalah mahasiswi. Berdasarkan data, 89 persen korban kekerasan seksual adalah perempuan, 4 persen laki-laki, dan 8 persen tidak mau menyebutkan identitasnya. Pelakunya sebagian besar adalah dosen atau mahasiswa senior,” ungkap Chatarina yang juga merangkap sebagai Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Kemdikbudristek.
Ia menjamin setiap korban kasus kekerasan seksual akan mendapatkan haknya. “Tentu saja kami akan berkoordinasi dengan satuan tugas (satgas) di kampus dan minta laporan tertulis. Jika kampus tidak melaksanakannya, dari kementerian akan ada intervensi supaya peraturan itu dipatuhi,” katanya. Selain itu, ia menambahkan, ada batas waktu pembentukan satgas di PT, yaitu satu tahun terhitung sejak penerbitannya. Chatarina menegaskan, per September 2022 semua satgas harus sudah terbentuk, minimal PT telah mengajukan prosesnya ke Kemdikbudristek. Selanjutnya akan ada pelatihan dari Kemdikbudristek kepada tim satgas yang dapat dilakukan secara daring. Jika sampai batas waktu yang telah ditentukan PT belum membentuk tim satgas maka Kemdikbudristek akan memberikan teguran kepada PT tersebut.
Mengingat pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di PT merupakan tanggung jawab universitas maka Kemdikbudristek akan menjatuhkan sanksi kepada PT yang melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di kampusnya. Selanjutnya, Kemdikbudristek akan menarik proses tersebut ke kementerian melalui Inspektorat Jenderal (Itjen) dan melakukan pendampingan kepada korban kekerasan seksual sekaligus memberikan bantuan hukum untuk menindak tegas pelaku.
Di sesi tanya jawab, peserta sangat antusias bertanya kepada kedua narasumber. Salah satu pertanyaan yang diajukan peserta, “Bagaimana jika korban merasa trauma, sehingga takut mengadukan kekerasan seksual yang dialaminya ke pimpinan kampus atau pihak yang berwajib? Apa jaminan yang diberikan kepada korban agar ia merasa terlindungi?” Menjawab pertanyaan ini, Chatarina mengatakan, hal itu dikembalikan kepada korban. “Tergantung apa yang korban minta. Apakah korban ingin identitas dirinya dirahasiakan? Atau, korban berharap pelaku tidak bisa mengajar lagi di kampus? Semua itu dimungkinkan,” ujarnya seraya menambahkan, korban bisa menuliskan keinginannya dan berkoordinasi dengan satgas dan pihak kampus. Chatarina berharap, Unpak bisa menjadi contoh yang baik bagi kampus-kampus lain dalam menegakkan aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Sementara itu, Alimatul yang juga menjabat Ketua Subkom Divisi Pendidikan Komnas Perempuan mengungkapkan, ada kerentanan berlapis yang dialami oleh korban. Sering kali korban justru dilaporkan balik oleh pelaku dengan alasan pencemaran nama baik. “Kita sangat beruntung dengan lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Di dalamnya ada larangan mengkriminalkan korban. Artinya, ketika korban melaporkan kasusnya, dia dilarang untuk dilaporkan balik atas dasar pencemaran nama baik. Selain itu, aparat penegak hukum juga dilarang melakukan, merendahkan, melecehkan, bahkan menghentikan kasus tersebut karena mungkin penegak hukumnya kenal dengan si pelaku,” ujar Alimatul menegaskan.
Perempuan yang aktif menyuarakan kesetaraan gender ini memaparkan, data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan menunjukkan, kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2021 meningkat sebesar 50 persen dibandingkan dengan tahun 2020, bahkan jumlahnya lebih tinggi dari sebelum pandemi Covid-19 merebak. Jika dilihat dari jenis kekerasannya maka kekerasan seksual memiliki angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan kekerasan fisik, psikis, maupun ekonomi.
Alimatul menambahkan, bila dikaji lebih detail sebagian besar kasus kekerasan seksual memperlihatkan adanya relasi kuasa dari pelaku terhadap korban. Misalnya, usia korban cenderung lebih muda dari pelaku, dan tingkat pendidikan korban pun cenderung lebih rendah dari pelaku. Di ranah publik atau di lingkungan pendidikan, pelaku kekerasan seksual bisa muncul dari seorang tokoh agama, dosen, guru, pejabat publik, atau atasan di perguruan tinggi.
Terbitnya Permendikbudristek No. 30/2021 bisa dikatakan sebagai jawaban atas ketidakadilan yang sering terjadi pada kasus-kasus kekerasaan seksual di PT. Penerapan aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di setiap kampus di Indonesia diharapkan menjadi titik balik bagi penegakan hukum di PT. Selama ini pelaku kekerasan seksual sering dibebaskan dari jeratan hukum karena minimnya bukti yang dimiliki ataupun kekeliruan dalam pemilihan pasal yang ditetapkan kepada pelaku.
Setelah Permendikbudristek No. 30/2021 ini diberlakukan, pelaku kekerasan seksual tetap mendapat sanksi administratif sekalipun pengadilan menyatakan terdakwa tidak bersalah. Di samping menindak tegas pelaku kekerasaan seksual dengan sanksi yang berat, PT juga diharapkan melakukan pendampingan, pemulihan psikis, dan perlindungan terhadap korban agar dapat kembali beraktivitas normal di kampus.