Keraton Agung Sejagat dan Pentingnya Critical Thinking
Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat (KOMPAS.com/istimewa)
Berpikir kritis menuntun kita lebih selektif dalam mengolah informasi.
Agnes Setyowati
UNPAK - Saat ini berbagai informasi baru, baik itu informasi yang benar maupun tidak, banyak bermunculan dan dengan sangat mudah bisa diakses melalui media sosial (medsos) dan media lainnya.
Dengan kecanggihan teknologi, informasi pun dengan mudah disebarkan dan menjadi pesan berantai.
Namun, kebenaran informasi itu selayaknya disikapi dengan critical thinking.
Fenomena kerajaan dan budaya residu
Munculnya informasi tentang Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah sebagai penerus Kerajaan Majapahit dan Sunda Empire-Earth Empire di Bandung Jawa Barat yang sangat viral tidak terlepas dari peran media massa dalam mengangkat berita sehingga menjadi trending.
Pembicaraan tentang kedua kerajaan tersebut telah tayang di berbagai media televisi dengan mengundang pakar-pakar terkait, seperti psikolog, sosiolog, akademisi dan lain-lain.
Para pengamat menyampaikan argumen mereka dengan menyimpulkan fenomena ini sebagai ketidakpuasan terhadap keadaan sosial, politik, maupun ekonomi di lingkungannya sehingga menciptakan dunia ideal yang dicita-citakan dan dianggap utopis, sampai dengan kesimpulan indikasi megalomania pada individu-individu tokohnya.
Fenomena ini mengingatkan kembali pada pandangan Raymon William tentang garis besar ciri residual culture atau budaya residu yaitu budaya yang mengikutsertakan unsur unsur masa lalu yang masih diterima, tetapi penempatannya dalam budaya kontemporer sangatlah beragam.
Unsur unsur terkait dengan kerajaan ataupun kekaisaran yang sebenarnya merupakan bagian pemerintahan masa lalu ini digali dan dibangkitkan kembali secara sadar, singkatnya, budaya ini mengambil nilai nilai masa lalu, yang bukan bagian budaya dominan, tetapi terus hidup dan digunakan dalam tindakan masa kini.
Eskapisme
Para tokoh dan kelompok tersebut menjadikan budaya residu untuk mencari jalan keluar yang bersifat eskapis dan cenderung ingin mewujudkan tatanan hidup yang sebenarnya hanya sebuah utopia.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indosia (KBBI), eskapisme mengacu pada pengertian adanya kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman yang ada di dunia khayal atau situasi rekaan.
Eskapisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok semacam ini disebabkan oleh krisis akan sesuatu yang diasumsikan sebagai yang stabil, koheren itu, ternyata tidak didapatkan.
Yang didapatkan justru keraguan dan ketidakjelasan dan untuk menghapuskan ketidakjelasan itu, maka dicarilah identitas yang dapat mewakili suatu kehadiran yang utuh, stabil, dan koheren.
Oleh karena itu fenomena Kerajaan Agung Sejagat dan Sunda Empire, yang mereka ciptakan dianggap memiliki kecenderungan utopis melalui argumen menguasai dunia dan pencipta perdamaian.
Ada berbagai alasan sebagai sebab timbulnya komunitas semacam ini: situasi ekonomi yang buruk; kepuasan batin yang tidak diperoleh dalam sebuah masyarakat besar; atau pengaruh karisma dari seorang pemimpin yang muncul sebagai juruselamat atau yang hanya sekedar mencari kepuasan atau kesenangan tertentu, demikian menurut Max Weber.
Kesulitan ekonomi dan perasaan terkucil membuat bersatu menghadapi kekuatan dari luar.
Itulah sebabnya mereka bergabung dengan komunitas komunitas utopia yang menjanjikan kehidupan lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang, walaupun kenyataannya seringkali bertolak belakang dengan kenyataan masyarakat ideal, malah kadang terlalu fantastis sehingga sulit untuk mewujudkannya.
Mengapa mudah terpengaruh?
Mengapa mereka dengan mudah terpengaruh dengan ajakan menjadi pengikut kerajaan tersebut?
Kekecewaan terhadap sistem ini menumbuhkan rasa frustrasi melihat kehidupan secara sosial ekomoni tidak memberikan harapan yang baik, sehingga ketika ada yang memberikan harapan dan iming-iming kehidupan yang lebih baik secara ekonomi maupun status sosial, serta merta mereka ikut dalam sistem baru tersebut.
Minimnya critical thinking yang disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah menjadi faktor ikut sertanya orang-orang tersebut dalam kelompok semacam ini.
Pandangan dan kepercayaaan tentang munculnya Ratu Adil mengesampingkan fakta, logika, dan akal sehat membuat mereka mudah masuk dalam kelompok tersebut.
Kerajaan dan Keraton Nusantara
Dalam kenyataannya, kerajaan dan keraton bukan hal yang asing bagi masyarakat di Indonesia karena dalam sejarahnya, Indonesia merupakan wilayah kerajaan di Nusantara.
Dalam dua tahun terakhir ini berita tentang raja dan sultan se-Nusantara memang mengemuka.
Awalnya adalah saat Presiden Jokowi mengundang para raja dan sultan di Istana Bogor pada Januari 2018. Acara itu dihadiri 88 raja dan sultan dari seluruh Indonesia.
Kirab budaya Keraton Jipang (Dokumen Yayasan Keraton Jipang)
Peristiwa lain terkait raja dan sultan adalah Seminar Nasional Pemajuan Kebudayaan di Universitas Pakuan pada 17 Desember 2019 lalu. Hadir dalam acara itu 25 raja dan sultan senusantara, di antaranya Pangeran Raja Barik Barlian (Kerajaan Djipang) yang sempat viral dipersoalkan.
Dalam kasus Keraton Agung Sejagat, boleh jadi munculnya kerajaan baru tersebut terinspirasi dari peristiwa sering terjadinya pertemuan raja dan sultan senusantara atau bahkan se Asia, sehingga ada harapan eksistensi mereka pun kelak akan diakui.
Kehadiran kerajaan baru ini sebagai upaya meromantisasi kehidupan kerajaan yang agung dan ekslusif di masa lalu.
Dalam sejarahnya keberadaan raja dan sultan yang kini masih ada di negara NKRI ini diakui keberadaannya karena ada jejak-jejak sejarah yang menjadi bukti empiris.
Bukti empiris tentu saja aspek penting dalam ilmu pengetahuan yang tidak bisa dikesampingkan, demikian pula sejarah kerajaan, memerlukan bukti empiris, adanya jejak-jejak, baik itu berupa tulisan, prasasti, tradisi lisan atau situs-situs peninggalan sejarah baik benda maupun tak benda lainnya yang bisa ditelusuri oleh para sejarawan, budayawan, arkeolog, dan ilmuwan terkait lainnya, dengan metodologi tertentu sehingga bisa membuktikan kebenaran sejarahnya.
Bagaimana kita menyikapi munculnya fenomena sosial munculnya kerajaan baru tersebut?
Critical thinking
Edukasi dan pemikiran kritis diperlukan untuk menyikapi fenomena sosial yang muncul di sekeliling kita.
Dalam kasus ini penting digaungkan literasi sejarah dan budaya lokal terhadap penduduk di setiap wilayah di Indonesia.
Pengetahuan tentang sejarah Nusantara, sejarah kerajaan di Indonesia maupun sejarah lokal diperlukan agar pemikiran logis tetap bisa menjadi pegangan sebagai landasan hidup bermasyarakat.
Critical thinking akan membuat kita berpikir lebih rasional serta beralasan dan berdasarkan fakta, tidak mudah percaya dengan perkataan orang lain, sehingga tidak mudah tertipu atau ditipu oleh orang lain.
Melalui cara berpikir kritis kita memproses suatu informasi apakah relevan atau sesuatu yang mustahil sehingga dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang tidak benar atau mengandung unsur kebohongan.
Berpikir kritis menuntun kita lebih selektif dalam mengolah informasi, dan membiasakan diri untuk menganalisis data-data yang ada maupun informasi-informasi yang kita peroleh.
Untuk membiasakan diri berpikir kritis, kita perlu mengkaitkan segala informasi yang di terima dengan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penulis: Agnes Setyowati Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Pakuan