Politik, Hukum dan Etika oleh Iwan Darmawan, SH., MH.
Di negara manapun yang sudah maju dan beradab, hukum dipegang dan dijalankan dengan konsisten dan penuh tanggungjawab, karena hanya hukumlah yang memiliki kekuatan mengikat dan menentukan norma serta sanksi, terhadap siapapun yang melanggar dan berakibat hancurnya kepentingan hukum (rechts belangs). Saat ini kita disuguhkan tontonan di semua media tentang dilematis dan sinkretis antara hukum, politik dan etika, yang sebenarnya satu sama lain memiliki kekuatan dan bergaining untuk mengontrol satu sama lain demi terciptanya dan terjaminnya penegakan hukum yang lebih baik, adil dan objektif.
Hukum sebagai Panglima Prof. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum itu sebagai panglima. Pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja tersebut sangatlah benar, artinya semua aspek dalam kehidupan ini harus diatur oleh hukum. Ahli hukum juga seorang filosof Romawi bernama Cicero berkata “Ubi societas ibi ius” artinya disitu ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum yang tegak dan ditaati adalah gambaran masyarakat yang sudah beradab. Sebaliknya hukum yang tidak tegak dan tidak ditaati menggambarkan masyarakat yang masih barbar. Hukum harus ditempatkan sebagai panglima, agar segala sesuatu berdasarkan hukum yang menjamin adanya ketertiban, kenyamanan dan keamanan keamanan.
Hans Kelsen dengan teorinya hukum murni (the fure theory of law) intinya menekankan bahwa hukum itu harus dijaga kemurniannya yaitu berpegang pada norma atau kaedah yang sudah ditentukan, hukum tidak boleh diintervensi oleh anasir-anasir non yuridis seperi politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar hukum benar-benar dijadikan pegangan, dan barangsiapa yang melanggarnya maka dapat dikenakan sanksi.
Bacaan menarik ini, selengkapnya bisa unduh file di bawah ini :