UNPAK - Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro menyayangkan tidak banyak masyarakat yang mengetahui, memedulikan, dan mendalami Kerajaan Sunda Galuh dengan ibu kota Pakuan Pajajaran di Bogor.
Ini merupakan kerugian bagi Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan budaya. ”Sebabnya, kebudayaan masih menjadi prioritas ke-20. Prioritas ke-1 sampai ke-10 masih politik,” kata Wardiman dalam acara Masamoan Pusaka Budaya Pakuan Pajajaran.
Informasi sejarah Sunda Galuh banyak dipelajari atau dikuasai mancanegara, terutama negara-negara yang pernah menjajah Indonesia, antara lain Portugis, Belanda, dan Inggris.
Menurut Wardiman, bangsa Indonesia kurang berani menggali informasi kembali sehingga pengetahuan soal kebudayaan atau peradaban menjadi amat minim. Siapa lagi yang mampu melestarikan ingatan kebudayaan jika bukan manusia setempat.
Dalam konteks Sunda Galuh, masyarakat Jawa Barat, khususnya Bogor, ditantang sejauh mana mampu melestarikan jejak peradaban salah satu kerajaan besar Nusantara itu.
Rektor Universitas Pakuan Bibin Rubini mencontohkan kujang sebagai salah satu bukti konkret hasil kebudayaan Sunda Galuh. Ia meyakini, tidak banyak warga Bogor dan Jawa Barat yang menyadari sepenuhnya apa itu kujang.
Mungkin sebagian warga cuma mengetahui bahwa kujang ialah nama tugu di Kota Bogor (Tugu Kujang) yang ada di pertigaan Jalan Otto Iskandar Dinata dan Jalan Pajajaran.
Padahal, kujang merupakan mahakarya seperti keris. Kujang dipercaya dibuat pada masa akhir Kerajaan Tarumanagara atau masa awal Kerajaan Sunda Galuh pada abad ke-8.
Kujang diyakini berakar dari masyarakat pertanian sehingga berfungsi sebagai perkakas agraris. Namun, karena dipakai kerajaan, kujang juga berfungsi sebagai jimat, pusaka, tetengger, dan pamungkas. ”Seperti keris, kujang memiliki arti penting bagi masyarakat Sunda.
Kujang bukan senjata tajam, tetapi hasil kesempurnaan seni tempa,” kata Bibin. Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang 30 tahun meneliti Pangeran Diponegoro, mengatakan, Indonesia saat ini sedang menikmati bonus demografi dengan keberadaan 60 persen penduduk usia produktif.
Hal ini harus dimanfaatkan untuk kebangkitan banyak aspek, terutama kebudayaan, termasuk karya ilmiah sejarah.