Dari Bhinneka Tunggal Ika Ke Penyatuan Nusantara
Satu helai daun yang jatuh ke bumi itu ada takdirNya, begitu juga harus tertakdir bangsa dan negara Indonesia yang proses kelahirannya tidak terlepas dari dimensi masa silam. Lahirnya pemuda perkasa Gajah Mada yang menjadi mahapatih Kerajaan Majapahit yang mendampingi tiga raja besar Majapahit yaitu Jayanagara, Tribuana Tungga Dewi, dan Rajasanagara (Prabu Hayam Wuruk) adalah awal penyatuan Nusantara melalui sumpahnya yang terkenal yaitu Sumpah Palapa, yang sebenarnya adalah kelanjutan dari tekad kuat raja besar Singasari Kertanegara.
Kertanegara membuat gagasan perluasan Dwipantara yang meliputi seluruh Nusantara yang tujuannya untuk menghadang kekuatan asing yang datang dari utara yang ingin menguasai Nusantara. Makna historis itu adalah kekayaan tak ternilai bangsa ini untuk tidak melupakannya, dan terus memproduksi makna tersebut hingga bangsa ini tidak melupakan akar sejarahnya. Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular di Kerajaan Majapahit saat diperintah Raja Hayam Wuruk melahirkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki makna walaupun berbeda-beda tetapi tetapi satu jua, yang pada hakikatnya menyatukan bangsa ini dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak akan pernah ada Indonesia Raya tanpa ada Bhinneka Tunggal Ika atas takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Essensi sejarah kebangsaan Indonesia pada hakikatnya adalah akar yang kuat bagi kebangsaan Indonesia untuk hari ini, hari esok dan selamanya.
Dari Kitab Kutaramanawa Dharmasastra Kerajaan Majapahit Ke Negara Hukum Indonesia
Akar Negara Hukum Indonesia pada dasarnya benih-benihnya sudah tertanam di kitab-kitab hukum kuno Nusantara, yang terbentang dari kerajaan-kerajaan tua seperti kalingga, Sriwijaya, dan Majapahit, karena hampir di setiap kerajaan di Nusantara pada dasarnya memiliki kitab hukumnya yang mengatur masyarakat dan kerajaannya. Kitab Kutaramanawa Dharmasastra Kerajaan Majapahit yang menjadi pegangan di Kerajaan Majapahit dan menjadi konstitusi di kerajaan tersebut bisa dikatakan sebagai cikal bakal Negara Hukum Indonesia, di Kerajaan Majapahit Kitab Kutaramanawa Dharmasastra yang terdiri dari 271 Pasal telah mengatur berbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di zaman itu. Dalam Kitab Kutaramanawa Dharmasastra Kerajaan Majapahit tersebut telah diatur berbagai asas hukum yang dikenal di zaman sekarang, seperti : asas persamaan di depan hukum (equality before the law), asas legalitas, asas gabungan tindak pidana, asas penyertaan, asas kesalahan, asas peniadaan pidana, asas pemberat pidana, asas peringan pidana, asas pertanggungjawaban pidana, tujuan pemidanaan serta perumusan sanksi pidana. Pada hakikatnya Kerajaan Majapahit adalah Kerajaan yang sudah berdasarkan hukum, di mana rakyat, ponggawa serta rajanya harus tunduk pada hukum yaitu Kitab Kutaramanawa Dharmasastra.
Salah satu penggalan Pasal 65 Kitab Kutaramanawa Dharmasastra menyebutkan “….Ingatlah jangan sekali-kali raja yang berkuasa menjatuhkan denda lebih besar daripada seketi enam laksa, jika menganut undang-undang Kutaramanawa”. Cahaya historis bangsa ini sejatinya harus menerangi kebenaran sejarah bangsa besar ini di masa silam, bahwasanya hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak selalu mendapat pengaruh dari Barat, tetapi sudah tergali dan sudah meresepsi dari akar budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia sendiri. Hal ini perlu diketahui agar bangsa ini memahami dan menyadari bahwa bangsa Indonesia sudah memiliki peradaban hukum yang gemilang sebelum bangsa penjajah menguasai negeri ini.
Dr. Iwan Darmawan, SH. MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Kaprodi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan)
Source: www.radarbogor.id