Bapak Ade Suherlin selaku Juru Kunci Kampung Naga menjelaskan, bagi masyarakat Kampung Naga, hidup harus memiliki prinsip. Landasan budayanya adalah “kita harus bisa menjadikan gaya hidup” untuk selalu di satu sisi mengikuti perkembangan zaman. Namun di sisi lain tidak kehilangan jati diri. “Bukan terjebak hidup gaya”. dengan begitu, budaya bisa menjadi tuntunan, bukan tontonan.
Kunjungan ilmiah ke Kampung Naga merupakan program wajib untuk mahasiswa semester pertama yang mengikuti mata kuliah Antropologi Budaya. Mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah dasar umum untuk mempersiapkan mahasiswa memiliki perspektif utuh tentang karakter dan nilai budaya sehingga memudahkan dalam beradaptasi sebagai profesional hukum pada saatnya kelak.
Rombongan dibagi dua tim yaitu yang berangkat pada tanggal 9 Januari sampai 10 Januari 2017 dan rombongan tanggal 11 sampai 12 Januari 2017. Jumlah total mahasiswa yang mengikuti kunjungan mencapai 200 orang lebih dengan pendamping dosenpada rombongan pertama terdiri dari Hj.Tuti Susilawati,SH.MH., Sapto Handoyo,SH.,MH., Angga SH.,MH dan Sobar Sukmana SH.,MH. Sedangkan untuk rombongan kedua terdiri dari R. Muhammad Mihradi,SH.MH,. Suhermanto,SH.MH., Ari Wuisang,SH.,MH. Isep H Insan. SH.,MH
Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Kampung Naga berada di hamparan satu setengah hektar dengan 113 bangunan dan 101 kepala keluarga serta 305 jiwa. Sebenarnya, warga Kampung Naga sendiri yang mendiami kampung tersebut hanya sekitar satu persen. Sisanya di luar wilayah Kampung Naga dan menyebar diberbagai pelosok. Penduduk kampung naga beragama Muslim dan aktivitas utamanya adalah menggarap lahan pertanian dan kerajinan anyaman. Hari besar masyarakat Kampung Naga mengikuti tradisi muslim yaitu (a) bulan muharram; (b) maulid; (c) jumadil akhir; (d) nisfu syaban; (e) idul fitri; (f) idul adha. Pada idul fitri dan idul adha diselenggarakan ziarah ke makam leluhur khusus para pria sedangkan perempuan mempersiapkan masakan tumpengan.
Dari sisi sejarah, kampung Naga sendiri kehilangan informasi tentang sejarah terbentuknya. Hal ini disebabkan di masa organisasi DI/TII Kartosuwiryo, Kampung Naga pernah dibakar sehingga kekayaan sejarahnya musnah. Istilah masyarakat kampung Naga, pareumeun obor. Meski demikian, tradisi yang di alam ingatan masih dijalankan hingga kini.
Bagi mahasiswa fakultas hukum, terdapat kearifan yang menarik menjadi bahan renungan. Pamali misalnya. Suatu bentuk ungkapan larangan pada aktivitas tertentu di masyarakat Kampung Naga yang dampaknya luar biasa: hutan terjaga, lingkungan hidup lestari. Sesuai dengan prinsip yang diyakini: Kita hidup bersama alam, bukan hidup di alam. Jadi, aturan di Kampung Naga ditaati oleh pimpinan dan masyarakatnya. Tidak ada yang melanggar. Hanya dengan Pamali. Tentu ini berbeda dengan masyarakat kita pada umumnya yang mengalami pendangkalan terhadap ketaatan hukum. (Narasi oleh: M.Mihradi)